September 3, 2010

Jejak Islam di Lampung (23): Perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial

SETELAH masuk ke Lampung, Islam berkembang dan menyebar di sekitar daerah tiga pintu masuknya. Mulailah membuat organisasi-organisasi untuk mengembangkan ilmu dan syiar agama, termasuk di Lampung. Sampai akhirnya penjajah Belanda datang ke Indonesia, organisasi itu yang membuat pergerakan melawannya.

Di salah satu pintu masuk, Lampung Barat, Pemerintah Kolonial juga mendapat perlawanan dari rakyat. Sehingga sejumlah tokoh pergerakan Islam banyak yang ditangkap dan di-internir atau dibuang ke Boven Digul. Terutama saat dikembangkan isu banyaknya penduduk di Marga Liwa menjadi anggota Syarikat Islam (SI) "merah" atau prokomunis.

"Banyak tokoh yang ditangkap, bermula penangkapan tokoh antipenjajah Sadaruddin dari Pulau Pisang, Krui, Lampung Barat," kata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Lampung K.H. Arif Mahya, saat diskusi menjelang Ramadan di kantor Lampung Post, beberapa waktu lalu.

Penangkapan itu kemudian berlanjut ke Liwa. Pemerintah Kolonial Belanda mengincar tiga tokoh antipenjajah, yakni K.H. Bakri di Dusun Sukamarga, Liwa; Usman, Dusun Kesugehan, Liwa; dan H. Fadhlulloh. Dari ketiganya, Usman berhasil ditangkap. Sementara K.H. Bakri dan Fadhlulloh menghindar dan lari dari kejaran Pemerintah Kolonial ke Mekah, Arabi Saudi. Sembari bermukim, kedunya memperdalam ilmu agamanya.

Kemudian, H. Bakri kembali ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya di Negarabatin, Kotaagung, Tanggamus. Setelah zaman kemerdekaan, tokoh yang dituding anggota SI "merah" itu mengembangkan Islam sampai menjadi kepala KUA Kecamatan Sukadana.

Di Sukadana, K.H. Bakri berkolaborasi dengan K.H. Muhammad Nur, orang tua K.H. Hanafiah (salah satu Komandan Pasukan Hizbullah saat perlawanan Agresi Militer Belanda). K.H. Muhammad Nur juga merupakan pengelola pondok pesantren pertama yang berdiri di Sukadana bernama An Nur.

"Kini makam keduanya dalam satu kompleks di TPU Srikaya, Sukadana," kata dosen IAIN Raden Intan Fauzi Nurdin yang juga cucu pendiri Pondok Pesantren An Nur itu saat menjadi pembicara dalam diskusi di kantor koran ini, awal Agustus lalu.

Namun, kedua makam tokoh pejuangan dan penyiar agama Islam di Lampung itu kini kurang diperhatikan pemerintah. Hanya anak cucu kedua tokoh itu saja yang merawat makamnya. "Padahal, perjuangan keduanya tidak bisa disepelekan untuk penyiaran Islam, bahkan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial saat itu," kata dia. (MUSTAAN/E-1)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 September 2010

No comments:

Post a Comment