SELAIN melalui kontak fisik dan pendidikan dalam syiar dan perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan Islam di Lampung Barat juga melakukan perjuangan diplomatik. Salah satu bukti perjuangan itu dengan hadirnya partai politik. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), satu-satunya partai poltik yang ada pada 1937�1943.
Saat itu, pemerintah kolonial berupaya meredam perkembangan PSII yang berstatus Kring Liwa di bawah kepemimpinan H. Zaini, warga Pekon Tengah, Liwa. Caranya, menuding Syarikat Islam (SI) dengan cap �merah� terhadap organisasi itu. Tekanan dan perlakuan diskriminatif diberikan terhadap penduduk Marga Liwa yang terlihat menonjol. Tekanan itu mulai dari perbesaran pajak, pengenaan kerja paksa (rodi), dan sebagainya.
Namun, kecurigaan dan tekanan pemerintah itu semakin membuat penduduk Marga Liwa tertarik menjadi anggota PSII. Apalagi terbukti tokoh-tokoh PSII berani berjuang membela rakyat tertindas. "Salah satunya pembelaan Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto terhadap kasus tanah petani Gunung Seminung," kata tokoh masyarakat Marga Liwa, K.H. Arif Mahya, kepada Lampung Post, beberapa waktu lalu.
Dengan semakin berkembangnya PSII di Liwa, pada 1937 status organisasi ditingkatkan menjadi lajnah afdeeling (LA). Bahkan wilayahnya diperluas menjadi PSII LA Balikbukit yang berkedudukan di Kotaraja Liwa. Dan dua tahun kemudian, pengurus membentuk Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiah (BPPI) di Kotaraja di bawah binaan M. Hasan Manaf (ayah dari guru SMAN 2 Tanjungkarang Rosmala Dewi) dan guru H.H. Anwar (Kembahang).
Dari perkembangan itulah PSII LA Liwa ikut menggerakkan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menuntut pembentukan parlemen kepada pemerintah kolonial. Mereka meminta parlemen itu berisi orang Indonesia yang dipilih rakyat. Sejumlah tokoh PSII M. Hasan Manaf, Fadil Hamid, M. Yahya dan M. Jemarip bersama tokoh Muhammadiyah Abdul Ghani berjuang dalam Gapi itu.
Namun, perjuangan itu belum sempat berhasil karena Perang Dunia (PD) II. Pemerintah kolonial berganti dari Belanda ke Jepang yang memenangkan PD II. Imbasnya, seluruh partai dan organisasi kemasyarakatan (ormas) dibubarkan. PSII, termasuk Muhammadiyah dan NU, juga ikut dibubarkan.
Namun, perjuangan tokoh-tokoh Islam kala itu tidak berhenti. Mereka tetap melakukan syiar dengan meneruskan sekolah dan pondok pesantren yang ada di Liwa. Jepang juga menghentikan openbaar atau tablig akbar. Sementara para pemuda sebagian mengikuti pergerakan fisik dengan bergabung dalam kelompok pejuang untuk bergerilya. (MUSTAAN/E-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 September 2010
No comments:
Post a Comment