-- Wahyu Heriyadi
SEWAKTU di Bandar Lampung, saya adalah penonton teater, baik itu Teater Kurusetra UKMBS, Teater Satu, maupun Kober. Selain menonton, saya pernah menulis resensi atau liputan teater yang dipublikasikan di selebaran pers kampus Fakultas Hukum Universitas Lampung sekitar 2004—2007. Hal yang saya lakukan tersebut adalah sebuah wujud dari apresiasi sebuah pertunjukkan teater yang tidak hanya berakhir di panggung, tetapi juga membawa pengalaman menonton untuk mendiskusikan kembali wacananya. Bahkan, yang lebih mengasyikkan lagi adalah menuliskannya kembali meskipun hanya dalam berkisar 500 kata.
Hingga kini di Lampung belum ada sebuah pendidikan menengah setingkat SMA yang memiliki jurusan teater, apalagi di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam keterbatasannya tersebut, ternyata tak menyurutkan perkembangan kehidupan teater di Lampung. Mahasiswa, pelajar, dan masyarakat masih bisa menyalurkan dan mengembangkan kemampuan berteaternya di kampus melalui organisasi teater kampus, atau komunitas teater di luar kampus, seperti Teater Satu dan juga Kober.
Melalui tulisan ini, saya mempertanyakan kenapa jarang ada orang dengan disabilitas yang ikut tampil dalam teater? Kemudian saya bermaksud mendiskusikan wacana teater dan disabilitas. Istilah disabilitas merupakan kata serapan dari disability, sebagai bentuk keselarasan dengan Convention on The Right of Person With Disability (disingkat CPD) tahun 1996. Sementara itu, di Amerika, disability act telah ada sejak tahun 1990. Istilah disabilitas ini masih bisa diperdebatkan secara linguistik, sosiologis, arsitektur, hukum, medis, estetik, hingga filosofis. Orang dengan disabilitas berdasarkan CPD adalah mereka yang memiliki kelainan fisik, mental, intelektual, atau sensorik secara permanen yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasar pada asas kesetaraan.
Beberapa aspek dari CPD yang berkaitan dengan teater di antaranya hidup bebas dan berhak untuk ikut serta dalam komunitas. Bebas berekspresi dan berpendapat, dan memperoleh akses dalam memperoleh informasi. Berpartisipasi dalam kebudayaan, rekreasi, menikmati waktu senggang, dan olahraga.
Pada partisipasi di dalam budaya inilah dikemukakan bahwa orang dengan disabilitas harus mendapatkan hak-haknya dalam menikmati akses program televisi, film, teater, dan aktivitas kebudayaan lainnya dalam format yang dapat diterima. Selain itu, orang dengan disabilitas harus mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dan memanfaatkan kreativitas, artistik, dan potensi intelektualnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga bagi masyarakat.
Di Indonesia, Undang-Undang Penyandang Cacat telah ada sejak 1997, kedepannya istilah disabilitas ini tentunya akan sangat berpengaruh pada setiap bentuk peraturan untuk menggantikan istilah cacat. Disabilitas dapat kita lihat di antaranya pada orang yang memang terlahir disable (memiliki keterbatasan tertentu) dan orang yang akibat kecelakaan atau sakit sehingga menyebabkan disabilitas. Bukan tidak mungkin salah satu dari kita atau keluarga kita suatu hari mengalami sakit atau kecelakaan sehingga disabilitas, kita mesti siap dengan keadaan tersebut, salah satunya adalah dengan tetap berkarya.
Pada pengembangan wacana disabilitas kekinian, di mana disabilitas ini mulai berkembang melalui gerakan disabilitas, di antaranya melalui akses keadilan hingga undang-undang yang menaunginya, partisipasi di ruang publik, filsafat yang berpersfektif disabilitas, arsitektur yang berpihak kepada disabilitas, hingga aktivitas kebudayaan dan kesenian. Gerakan ini juga berdampak pada institusi akademik seperti halnya beberapa kampus di Indonesia yang mulai mendirikan Pusat Kajian Disabilitas, meskipun pada kenyataannya masih saja mahasiswa dengan disabilitas belum banyak melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi.
Ini mengingatkan kita pada sejarah institusi pendidikan yang diungkapkan Gadis Arivia dalam Filsafat Berperspektif Feminimis (2003), yang pada awalnya dipenuhi lelaki. Sebaliknya, perempuan kesulitan untuk mengakses pendidikan tinggi. Budaya masyarakat seakan mengungkungnya untuk lebih aktif di sektor domestik: rumah tangga. Begitu halnya pada orang dengan disabilitas. Orang dengan disablitas ini pada kenyataannya dalam masyarakat menjadi tak berdaya dan paling hanya melakukan pekerjaan urusan rumah tangga, klaim bahwa setidaknya cukup bisa untuk mengurus diri sendiri saja, pendidikan yang secukupnya, tentunya ini adalah penghalang budaya untuk memajukan potensi disabilitas, apalagi hendak berkegiatan dalam kesenian seperti teater misalnya. Inilah marjinalisasi budaya yang dilabelkan pada disabilitas.
Lalu, seperti pada tema yang akan kita diskusikan melalui tulisan ini adalah bagaimanakah kita dapat mengembangkan wacana disabilitas dan teater. Dalam Body In Commotion: Disability And Performance (2005), yang merupakan esai yang dihimpun Carrie Sandahl dan Philip Auslander, mendiskusikan bagaimana mengembangkan estetika disabilitas seniman teater dan tari, dengan maksud hendak mengeluarkan dan menetralkan marginalisasi budaya terhadap orang dengan disabilitas tubuh dan penglihatan.
Dari aspek historis, Rosemary Garland Thomson mengungkapkan melalui Extraordinary Bodies (1997) bahwa pertunjukan disabilitas ini dapat dilihat melalui kerja budaya The Freak Show (1835–1940), sebuah ajang mempertontonkan orang dengan disabilitas yang pada waktu itu memberikan visualisasi kengerian sekaligus keprihatinan dalam menciptakan kode simbolik untuk membangun hubungan antara tontonan dan penonton. Dalam pertunjukan tersebut, tubuh dipamerkan menjadi teks yang ditulis sehingga harus diuraikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para penonton. Ini mengingatkan pada sirkus keliling yang singgah di kota kita lalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Di dalam pertunjukkannya kita melihat bagaimana orang dengan disabilitas mempertontonkan keahliannya.
Bagi Ann Cooper Albright dalam Choreographing Difference: The Body And Identity In Contemporary Dance (1997), dis dalam disability memberikan stereotip yang negatif. Oleh sebab itu, ia menolak dan tidak nyaman dengan istilah disabled. Namun, ia tetap memberikan apresiasi terhadap istilah disability, terkadang ditulis dengan dis/ability. Baginya, garis miring tersebut sebagai tanda untuk menolak kenyamanan dari stereotip yang diberikan. Dalam hal tari, ia membahas bahwa tari tidak seperti produk budaya lainnya, buku atau lukisan, karena dalam seni pertunjukan, tubuh akan langsung terlihat dan bergerak dalam merepresentasikan pementasannya. Kemudian, jika kita menonton tarian dengan penari yang disabilitas, kita akan menonton sebuah koreografi dan disabilitas. Dalam teater kita juga menonton dan menikmati tari, melihat pandangan Albright, jika kita menonton teater dengan aktor yang disabilitas: menonton akting dan disabilitas.
Sebagai bentuk kerja teater dan disabilitas, sudah saatnya pekerja/aktivis teater mengajak orang dengan disabilitas ke dalam kerja-kerja teaternya. Selain mengangkat wacana tentang diabilitas dalam seni pertunjukkannya, juga tentunya memungkinkan pengembangan wacana estetika disabilitas. Hal ini akan menantang penulis naskah teater, sutradara, aktor, dan kelompok teater untuk mewacanakan bagaimana disabilitas hadir dalam teater dan naskah teksnya, juga akan memikirkan dan mengembangkan bagaimana orang dengan disabilitas dapat juga berkegiatan teater sebagai bagian dari kehidupan berkesenian dan kebudayaan.
Wahyu Heriyadi, alumnus Universitas Lampung, saat ini bekerja di Kementerian Sosial RI
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 September 2010
No comments:
Post a Comment