BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mandek dan tak ada penyelesaian. Begitulah makna aksi teatrikal oleh puluhan mahasiswa yang tergabung Komite 28 September dalam memperingati tragedi UBL Berdarah, Selasa (28-9).
PERINGATAN UBL BERDARAH. Puluhan mahasiswa menggelar aksi solidaritas ddi depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL), Selasa (28-9) memperingati 11 tahun Tragedi UBL Berdarah pada 28 September 1999. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Telah 11 tahun sejak peristiwa unjuk rasa damai mahasiswa yang dibalas tembakan dan pukulan aparat keamanan yang mengakibatkan dua aktivis mahasiswa, M. Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria, tewas.
Kala itu, Yusuf Rizal turut ambil bagian dalam aksi mahasiswa menolak Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Saidatul adalah aktivis pers mahasiswa pada surat kabar mahasiswa Teknokra yang tengah meliput peristiwa itu. Yusuf Rizal tewas diterjang peluru. Saidatul tewas dipukul popor senapan aparat keamanan.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan di depan kampus UBL kemarin, puluhan mahasiswa itu menuntut pengusutan tuntas kasus tersebut. Aksi diikuti oleh beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa Teknokra Unila, Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Bandar Lampung, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan SEMI.
Koordinator lapangan, Amir Harmidan (UKMBS UBL), dalam orasinya menyatakan sangatlah miris jika masyarakat Lampung melupakannya. "Tragedi ini terjadi ketika mahasiswa bersatu menolak kebijakan pemerintah karena bertentangan dengan semangat reformasi," kata Amir.
Ary Beni Santoso dari SKM Teknokra dalam orasinya menuntut perguruan tinggi membuat tugu peringatan. "Agar pengorbanan mereka tidak sia-sia dan semangat berjuang untuk keadilan dan masyarakat tetap terjaga," kata dia.
Sementara guru besar Unila, Irwan Effendi, yang merupakan saksi kunci peristiwa itu, kepada Lampung Post menceritakan penembakan itu tidak semestinya terjadi. "Hasil perundingan di Korem (Garuda Hitam, red), disepakati mahasiswa naik bus untuk langsung ke kantor gubernur. Ada 20 bus yang disiapkan, tapi entah dari mana ada lemparan batu dan terjadilah chaos dan penembakan itu," kata Irwan Effendi.
Berhentinya penyidikan kasus ini, menurut Irwan, karena pihak keluarga tidak melanjutkan tuntutan. Demikian halnya dengan Unila. "Saya tak tahu persis proses penyidikannya karena saya hanya ditugaskan untuk berunding," kata Irwan. (MG14/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 September 2010
No comments:
Post a Comment