IRWAN (43) menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan beralaskan lantai yang hangat. Wajah pemudik asal Jakarta yang mulanya terlihat letih ini seketika sirna seketika saat melihat pemandangan menakjubkan di depannya, Senin (13/9).
Sejumlah pengunjung menghabiskan waktunya di Menara Siger, Bakauheni, Lampung, Senin (13/9). Dari titik ini, pengunjung dapat menikmati keindahan pemandangan Selat Sunda, Pelabuhan Bakauheni, bahkan pesisir Merak di Provinsi Banten. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Di depannya terhampar pemandangan indah Teluk Lampung dan Selat Sunda dengan lautnya yang berwarna biru temaram. Hadirnya gugusan pulau berwarna hijau kian menambah lengkap indahnya pemandangan di siang hari yang cerah itu.
Pemandangan Kepulauan Lunik, Teluk Lampung, dan Selat Sunda pada siang itu terlihat layaknya giok-giok dan zamrud di atas hamparan kanvas berwarna biru. ”Pemandangannya sungguh indah. Senang sekali bisa ada di sini,” kata Irwan.
Pemandangan yang indah ini tersaji dari puncak bukit di Menara Siger, Bakauheni, Lampung. Dari atas bukit tersebut pula terlihat belasan kapal roro (rolling on rolling off) hilir mudik ke dermaga-dermaga di Pelabuhan Bakauheni. Kesibukan di pelabuhan ini saat arus balik pun terlihat mulai padat.
Desir semilir angin sesekali pecah oleh suara klakson kapal roro yang terdengar membahana. Puluhan pengunjung di sini tampak asyik bersantai menikmati panorama, sementara sebagian lainnya ”bernarsis” ria mengabadikan dirinya beserta pemandangan indah itu.
Menara Siger
Sebetulnya sudah sejak lama warga Jakarta tersebut memendam penasaran ingin menyinggahi salah satu ikon baru di bumi Sai Ruwai Jurai ini. ”Kalau kita turun dari kapal, ini (Menara Siger) mesti sudah terlihat dari kejauhan,” ujarnya.
Ya, bagi mereka yang kerap melintasi Selat Sunda atau turun di Pelabuhan Bakauheni menggunakan jasa kapal roro, keberadaan Menara Siger memang mencolok mata. Bangunan tinggi yang berwarna merah dan emas ini terlihat menonjol di puncak bukit karst. Di bawahnya terlihat tulisan besar ”Lampung”.
Menara Siger yang tingginya mencapai 32 meter, terdiri dari enam lantai tersebut adalah penanda di pintu masuk menuju provinsi terujung selatan di Pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, menara yang konstruksinya dibuat tahun 1995 ini berbentuk menyerupai siger, yaitu mahkota adat pengantin wanita di Lampung.
Prinsip-prinsip konstruksi bangunan yang diarsiteki salah seorang tokoh Lampung, Anshori Djausal, ini mengadopsi elemen perahu sebagai salah satu simbol Nusantara. Bangunan tersebut terdiri dari sembilan rangkaian yang melambangkan pula sembilan kebuaian (marga adat) di Lampung.
Bangunan ini sekaligus merupakan simbol tatanan sosial masyarakat di Lampung. Ini terlihat dari ornamen arsitektur berupa payung tiga warna (putih, kuning, dan merah) di atas puncak menara.
Ornamen tersebut menandakan bahwa masyarakat adat Lampung masih memiliki struktur kelompok sosial. Bangunan itu juga memiliki ukiran bercorak kain tapis khas Lampung.
Titik nol Sumatera
Hal lainnya yang tidak kalah menarik, di menara yang diresmikan Gubernur Lampung Sjahchroedin ZP ini tercantum pula informasi penanda titik nol dan jarak-jarak ke wilayah lain di Sumatera ataupun Jawa. Dari tempat ini, misalnya, pengunjung bisa tahu bahwa jarak Bakauheni ke Banda Aceh mencapai 2.652 kilometer.
Dari papan informasi di Lantai II di menara ini pula kita tahu bahwa jarak Bakauheni-Jakarta sebetulnya tidak terlalu jauh, hanya 117 kilometer. Jarak ini tidak lebih jauh dari Jakarta- Bandung.
Untuk bisa masuk ke kawasan Menara Siger, pengunjung dikenai biaya tidak resmi Rp 5.000 per motor atau Rp 10.000 untuk mobil. Untuk bisa masuk lagi ke bangunan, para pengunjung dikenai lagi biaya Rp 1.000 per orang. Menara ini dilengkapi pula sejumlah informasi tentang wisata di Lampung.
Dari menara yang berketinggian 110 meter di atas permukaan laut inilah pengunjung bisa melihat pemandangan pesisir di kawasan Merak, Banten. Sebab, jarak Merak-Bakauheni ternyata hanya 27 kilometer. Namun, Merak ataupun Pulau Jawa hanya bisa terlihat jika cuaca sedang cerah.
Jembatan Selat Sunda
Di puncak bukit inilah kita bisa melamun membayangkan apabila Jembatan Selat Sunda (JSS) nantinya jadi terbangun. Dari titik ini nantinya akan terlihat seluruh rangkaian struktur jembatan yang menghubungkan dua pulau terpadat di Indonesia tersebut.
M Husnul Arif (18), pengunjung asal Lampung Tengah yang tengah menikmati suasana di Menara Siger, memiliki kesan tersendiri terkait rencana pembangunan JSS. Menurut dia, secara logika, ide pembuatan jembatan sepanjang 29 km tersebut sangat sulit terwujud.
”Dari internet saya dapat informasi, pembuatan JSS ini secara logika hampir tidak mungkin. Di bawah Selat Sunda itu kan sering kali terjadi pergeseran lempeng-lempeng Bumi. Bayangkan akibatnya apabila ada jembatan di atasnya,” ujar siswa kelas III SMA ini mengutarakan opininya tentang JSS.
Meskipun demikian, ia tetap berharap mimpi masyarakat Sumatera dan Lampung khususnya tentang adanya jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa bisa betul-betul terwujud. Ada keyakinan bakal banyak sekali manfaat ekonomi yang dapat dinikmati masyarakat Lampung dari kehadiran jembatan tersebut. Kelancaran arus transportasi akan memberi efek lanjutan yang besar.
Artinya, rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda jangan sampai cuma sekadar ide besar yang timbul jadi buah bibir sesaat, lalu tenggelam lagi. Gagasan itu harus benar-benar dapat diwujudkan dengan target waktu yang jelas dan terfokus. Apalagi, saat ini tak sedikit masyarakat sudah telanjur menaruh harapan besar soal JSS itu.
Kelak, jika impian itu menjadi kenyataan, maka masyarakat Lampung dan Indonesia pada umumnya pun tidak lagi sekadar membayangkannya dari Menara Siger….(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Selasa, 14 September 2010
No comments:
Post a Comment