September 7, 2010

Zakat, Spirit Keadilan Sosial

Oleh Sulis Styawan

MUNGKIN terkesan amat utopis (mimpi) dan ngayawara jika mengharapkan adanya keadilan dalam dunia pendidikan dari bentuk kedermawanan semacam zakat. Apalagi dalam corak masyarakat kita yang amat kapitalis, yang bersandar pada ideologi individualisme dan liberalisme seperti sekarang ini.

Setiap kedermawanan pasti akan dipandang sebagai perbuatan baik yang membuat hati sang pemberi sombong, atau setidaknya akan membuat yang diberi derma terus saja bergantung, tetapi mereka tetap malas dan tidak terberdayakan.

Namun, kita tahu bahwa solusi mengatasi masalah kemiskinan dengan pendidikan senyatanya lebih mampu menjembatani realitas kehidupan terkini dengan kualitas subjektif individu-individu yang miskin.

Dalam pandangan Islam sendiri, pendidikan merupakan prasyarat mutlak untuk mewujudkan masyarakat yang kondusif bagi umatnya untuk terselamatkan dari keangkaramurkaan (kebodohan, ketamakan, dan ketidakadilan). Bahkan pendidikan bagi kaum tertindas ala �Frerian� (model pendidikan bagi kaum miskin yang dipelopori oleh Paolo Freire), tampaknya secara tegas merupakan misi kitab suci Alquran.

Alquran memiliki alasan yang kuat kenapa orang miskin harus diberdayakan, kenapa orang-orang yang ditindas harus dibela, dan kenapa pula penindasan harus dilenyapkan. Q.S. Al Qashas ayat 5 menyebutkan, �Kami ingin memberi karunia kepada mereka yang tertindas di atas bumi, menjadikan mereka pemimpin dan pewaris.�

Cukup jelas, bahwa orang tertindas "dikaruniai" Allah, sementara para penindas "dikutuk" Allah. Dengan demikian, membela orang yang tertindas juga lebih mulia daripada berdiam diri ataupun membela para penindas dan ikut melanggengkan penindasan.

Selanjutnya, orang tertindas juga memiliki potensi yang baik untuk menjadi "pewaris" buminya sendiri dan menjadi "pemimpin" yang baik dan adil. Hal ini sangat tepat. Kenyataannya, pemimpin yang jujur, baik hati, dan adil justru lahir dari orang yang dulunya tertindas.

Logikanya, orang akan dapat merasakan kepedihan orang lain kalau dia juga pernah mengalami sendiri kepedihan itu. Maka, para pemimpin yang mau turun ke bawah menyambangi rakyatnya, mendengarkan, serta merasakan berbagai penderitaan yang dialami rakyatnya, sedikit banyak dia pasti membuat kebijakan yang memihak rakyat, khususnya wong cilik.

Nah, dalam konteks inilah kita memandang konsepsi tentang misi zakat yang sebenarnya. Zakat, dan juga ajaran kedermawanan lainnya dalam Islam, harus lebih "dimajukan" agar tidak hanya menjadikan orang kaya atau si penderma merasa berjasa atau sombong gara-gara mampu memberikan apa yang dianggap sebagai miliknya.

Atau, jangan sampai zakat dan pemberian malah menjadikan kaum miskin hanya selalu bergantung pada kedermawanan seseorang, tetapi mereka tetap malas dan tidak mengubah kualitas dirinya menjadi mandiri, memiliki pengetahuan, dan keterampilan dalam menjalani kehidupan.

Bagaimanapun, bentuk pemberian tidak serta merta bisa menunjukkan orang Islam sebagai kalangan yang kedudukannya lebih tinggi di hadapan Allah. Iman bukan hanya dibuktikan dengan memberikan (apa yang dianggap) miliknya dan tidak menganggap bahwa kepemilikan tersebut berkaitan dengan hubungan dialektis dalam struktur ekonomi-politik.

Pasalnya, kualitas keberagamaan seorang muslim secara tegas dihasilkan dari dialektika iman, alam, dan praksis nilai-nilai kemanusiaan universal. Artinya, "kodrat" manusia, yang menurut Islam sebagai fi ahsani taqwim (manusia dalam sebaik-baiknya bentuk), yakni manusia yang tumbuh dan berkembang secara "sehati" (baik fisik maupun psikis/mentalnya), lebih sebagai cita-cita daripada realitas manusia yang pada kenyataannya (terutama karena bentukan sistem sosial) lebih mengikuti dorongan insting daripada kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang sempurna.

Tanpa semangat perlindungan dan penghargaan terhadap nilai-nilai iman dan praksis (perbuatan kebaikan secara sosial) itu, maka manusia akan terlempar dari posisinya yang tinggi dan mulia tadi, dan dikembalikan pada derajat yang serendah-rendahnya, menjadi binatang dan benda (Q.S. At Tiin: 5-6).

Lalu, jika ada pertanyaan; kenapa agama selalu dipercaya sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan sosial di masyarakat? Kenapa Islam mencita-citakan manusia sebagai mahkluk yang sempurna (fi ahsani taqwim)?

Dalam konteks ini, kalau manusia percaya pada Islam, benar-benar takut dosa, dan memuja kebajikan spiritual, maka mereka harus percaya bahwa Islam adalah agama yang benar. Dalam artian bahwa ia mengidealkan sistem dan hubungan sosial yang kondusif dan memungkinkan kita ini benar-benar jadi makhluk yang sempurna. Sehingga, jangan sekali-kali mengaku sebagai orang beriman kalau kita tidak mau menggagas perubahan demi sistem sosial yang bisa menjelaskan eksistensi kita sebagai manusia.

Kalau kita mempelajari kandungan Alquran, akan jelas bahwa Islam diturunkan untuk merombak sistem sosial yang pro-penindasan. Sayangnya, pada masyarakat kita, sampai saat ini agama justru menjadi bahan tertawaan dan permainan yang kian menjauhkan manusia dari penyucian diri dari keseimbangan alamiah dan ilahiahnya.

Kalau berbicara Islam, maka agama yang dikenal sekarang justru hadir menjadi wajah ritual rutin, yang jangkauannya cuma pada wilayah spiritual-mitologik semata, bukan wajah Islam sebagai agama penyelamat, pembela, dan penyelenggara keadilan.

Tak bisa disangkal, bahwa selama berabad-abad umat Islam dan peradaban seperti telah kehilangan spirit religiusnya yang asli, yakni spirit keadilan. Padahal, keadilan dan kebajikan (al-�adl wa al-�ahsan) senyatanya adalah suatu hal yang tidak dipisahkan. �Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan.� (Q.S. 16: 91).

Jadi, hakikat manusia sempurna tampaknya hanya akan tercipta jika dalam masyarakat tercipta keadilan sosial, tidak ada kesenjangan ekonomi-politik, dan tidak ada penindasan.

Selama manusia masih sibuk dengan berbagai urusan ekonomi dengan kesenjangannya, bisa dipastikan fi ahsani taqwim tetaplah menjadi sebuah konsep utopis karena manusia masih sibuk dengan urusan perut dan nafsu. Sementara itu, agama justru akan menjadi alat dengan kondisi manusia sebagai "binatang ekonomi" ini.

* Sulis Styawan, Peneliti Center for Education Urgency Studies (CEUS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 September 2010

No comments:

Post a Comment