ADA lima sifat orang Lampung yang tertera di dalam Kitab Kuntara Raja Niti. Pertama, piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri. Kedua, juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya).
Ketiga, nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu). Keempat nengah-nyappur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis). Kelima, sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Masyarakat adat Lampung juga mempunyai falsafah Sang Bumi Ruwa Jurai, yang artinya sebuah rumah tangga dari dua garis keturunan masing-masing melahirkan masyarakat beradat pepadun dan masyarakat beradat saibatin. Saat ini, pengertian Sang Bumi Ruwa Jurai diperluas menjadi masyarakat Lampung asli (suku Lampung) dan masyarakat Lampung pendatang (suku-suku lain yang tinggal di Lampung).
Sebab itu, jangan heran jika di daerah ini hampir semua suku di Indonesia ada dan hidup berdampingan secara damai. Banyak orang mengatakan untuk melihat Indonesia dalam konteks keberagaman, lihatlah Lampung.
Dengan dilandasi kelima sifat yang dibangun dari nilai-nilai Islam yang masuk pada abad ke-15 melalui tiga pintu utama; barat (Minangkabau), utara (Palembang), selatan (Banten), masyarakat suku Lampung sangat menghargai perbedaan.
Jarang sekali terdengar atau bahkan tidak pernah terdengar di daerah ini ada konflik yang dilatarbelakangi perbedaan agama maupun perbedaan suku. Semua agama bisa hidup damai, semua suku bisa mencari penghidupan dengan baik.
Kentalnya pengaruh Islam juga tampak dari tradisi yang kini masih digunakan dalam acara adat dan keseharian masyarakat. Misalnya, marhabanan untuk memberikan nama seorang bayi. Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca kitab barzanji.
Selain marhabanan, juga masih sering kita jumpai tradisi ruwahan, dengan mengundang tetangga dekat dan memanjatkan doa bagi saudara seagama yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.
Adapula tradisi tabuh beduk, tapi sudah jarang terdengar. Menabuh beduk untuk mengabarkan waktu salat dibunyikan setiap waktu salat lima waktu. Menabuh beduk menandakan salat jumat dibunyikan dua kali, yaitu pukul 11.00 untuk mengabarkan agar masyarakat bersiap-siap dan ketika waktu salat tiba. Menabuh beduk untuk menunjukkan salat tarawih dibunyikan dengan nada khusus.
Tradisi menabuh beduk juga terdengar sehari menjelang Ramadan, biasanya terdengar bertalu-talu sama ketika sehari menjelang Idulfitri. Namun, tradisi menabuh beduk ini sudah jarang terdengar, terutama di perkotaan, digantikan dengan pemberitahuan lewat pengeras suara.
Kelima sifat, pedoman hidup, dan falsafah yang dimiliki masyarakat adat Lampung hingga kini masih tumbuh subur. Sifat-sifat itu merupakan nilai lebih yang dimiliki orang Lampung, tapi di sisi lain dapat mengikis akar budaya daerah ini. Contohnya bahasa Lampung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 September 2010
No comments:
Post a Comment