PROSESI wisuda Universitas Lampung (Unila) baru saja bubaran, Rabu (21-9). Salah satu acaranya, pidato Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. Ia sempat memuji Unila tidak ada tawuran. Namun, begitu Gubernur pulang, perang antarmahasiswa pecah.
“Saya bangga karena Unila yang semakin maju. Budaya intelektualnya menguat dan tidak pernah terdengar adanya tawuran seperti di kampus-kampus lain. Ini harus dipertahankan.”
Begitu kira-kira petikan pidato Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. saat memberi sambutan pada acara wisuda pascasarjana, sarjana, dan diploma Unila, Rabu (21-9). Hadirin pun menyambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh. Para pemimpin kampus hijau itu pun tersanjung dengan apresiasi tersebut.
Dalam empat tahun terakhir, ketika media massa menyorot banyak kampus di banyak tempat dilanda tawuran, Unila tidak pernah masuk televisi dan koran untuk urusan itu. Namun, preseden buruk ini terjadi Rabu kemarin. Ironinya lagi, ini terjadi pada saat Unila sedang dipuji setinggi langit.
Tawuran memang bukan barang baru di Unila. Dalam skala kecil, pada Juli lalu, beberapa anggota lembaga kemahasiswaan bertikai terkait kepemimpinan presiden BEM Unila. Namun, itu tidak membesar dan dapat diredam. Sedangkan yang terbesar adalah Rabu lalu.
Berdasarkan data yang ada sejak 2005, terjadi beberapa kali tawuran. Beberapa tawuran dipicu oleh hal sepele. Tahun 2007 terjadi tawuran antara mahasiswa FT dan mahasiswa FE Unila. Pemicunya adalah ada mahasiswa yang tidak terima dengan perlakukan mahasiswa lain yang menggeber sepeda motor. Tawuran yang terjadi tahun 2005 terjadi antara sesama mahasiswa FISIP, dipicu akibat pembekuan lembaga kemahasiswaan.
Tawuran yang terjadi 21 September lalu dipicu akibat mahasiswa yang bersitegang saat arak-arakan wisuda. Namun, tawuran yang terakhir terjadi ini mengakibatkan kerusakan yang paling parah. Puluhan kendaraan rusak, fasilitas kuliah pun rusak, dan beberapa korban luka.
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Unila, Hartoyo, mengatakan tawuran di Unila bisa melibatkan massa yang jumlahnya cukup besar dimulai dengan masalah yang sepele. Awalnya bermula dari masalah personal, kemudian melebar jadi kerumunan massa. Sebelumnya memang sudah ada jejak historis pertikaian antarfakultas, seperti FH, FISIP, dan FT. Persoalan yang sudah lama ini kemudian dipicu oleh beberapa orang dan menarik massa yang lebih besar.
Menurut dia, dalam psikologi massa, kerumunan massa yang tidak dipecah akan menjadi amuk massa. Massa yang tidak diredam akan cepat berkembang menjadi kerumunan dan tersugesti menjadi aksi massa. Hal ini yang membuat massa berani melakukan perusakan.
Institusi pun, kata dia, terlambat melakukan kontrol terhadap kerumunan mahasiswa sehingga memancing massa yang lebih besar. “Bahkan ada mahasiswa yang tadinya tidak ke kampus malah ikut ke Unila,” kata dia.
Hartoyo mengusulkan agar arak-arakan wisuda yang menjadi pemicu pertikaian harus diawasi, dikontrol, dan didampingi. Massa yang ikut arak-arakan wisuda harus dibatasi. Jika Unila tidak mampu mengawasi, sebaiknya acara mengarak wisudawan ditiadakan.
Ia pun mengusulkan agar pembinaan mahasiswa harus ditingkatkan pada arah solidaritas intelektual akademis, bukan solidaritas emosional. Kegiatan kemahasiswaan pun harus diarahkan agar bisa mengembangkan prestasi akademik.
Doktor Sosiologi ini mengusulkan agar adanya perubahan aturan. Unila perlu membuat aturan yang ditandatangani mahasiswa yang baru masuk. Dalam aturan itu, ada hal yang harus diikuti dan tidak dilanggar. Bila dilanggar, bisa langsung dikeluarkan dari kampus. Misalnya aturan tentang narkoba, perkelahian, dan sejenisnya. “Orang tua dan mahasiswa pun akan patuh karena mereka sudah tanda tangan ketika masuk Unila,” kata dia.
Hartoyo menambahkan program orientasi mahasiswa atau ospek harus dievaluasi. Sisi positif dan negatif harus ditinjau ulang agar program ini betul-betul membantu perkembangan mahasiswa ke arah yang positif. “Kadang ada program pengenalan antara senior dan junior. Kegiatan ini pun harus dievaluasi agar tidak tumbuh solidaritas yang salah antarsenior junior,” kata dia.
Sosiolog Unila, Sindung Haryanto, menilai tawuran antarmahasiswa Unila yang merusak fasilitas umum dan kendaraan pribadi ini dimulai dengan emosi yang mudah meledak. Emosi mahasiswa cepat naik walaupun dipicu oleh hal sepele. Emosi mudah naik karena tekanan yang dihadapi mahasiswa, seperti tekanan kompetisi dan ketatnya dunia. Semua tekanan ini mengendap di bawah sadar dan membuat emosi pun mudah meledak.
“Tawuran mahasiswa tidak hanya terjadi di Unila. Di daerah lain pun sering terjadi tawuran mahasiswa dan pelajar,” ujarnya.
Menurut dia, masalah tawuran tidak bisa dilokalisasi hanya untuk Lampung. Ini menjadi persoalan umum yang dihadapi masyarakat dan mahasiswa. Tekanan kehidupan yang dihadapi masyarakat dan mahasiswa cukup keras.
Mahasiswa, kata dia, cenderung mencari musuh bersama. Saat ada yang mengganggu maka bisa langsung dijadikan musuh bersama. Akhirnya, mahasiswa melampiaskan amarahnya pada pihak yang mengganggu karena dianggap musuh. Faktor tidak adanya pemimpin yang menjadi figur dan panutan juga menjadi salah satu pemicu tawuran mahasiswa.
Dalam psikologi masa, kata dia, kerumunan massa berbeda dengan saat sendiri. Massa tidak punya identitas, melebur, dan tidak dapat diketahui. Karena tidak memiliki identitas, masa cenderung melanggar norma dan aturan. “Massa biasa melakukan pelanggaran karena identitas masing-masing tidak diketahui,” kata dia.
Ia menilai penyebab tawuran sangat kompleks dan banyak hal yang dilaukan untuk melakukan pembenahan agar tidak terulang kembali perkalian antarmahasiswa. Misalnya dengan perbaikan sistem pendidikan. Mahasiswa saat ini kekurangan pendidikan yang bermuatan pada moralitas sehingga hanya menghasilkan peserta didik yang unggul secara akademis tapi tidak dalam hal moralitas.
“Bila moralitas diabaikan, manusia tidak utuh. Pintar secara logika tapi miskin budi pekerti,” kata dia. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 September 2011
No comments:
Post a Comment