September 3, 2011

Sekuraan: Tantangan dan Harapan

Oleh Novan Adi Putra

KEKAYAAN budaya Lampung seperti pesta budaya yang sangat mengakar di Lampung Barat masih bisa kita saksikan, pesta rakyat yang dilaksanakan minggu awal bulan Syawal setelah Idulfitri berturut-turut dari tanggal 1 hingga 7 Syawal. Dilaksanakan bergantian dari satu pekon ke pekon yang lain. Dalam pandangan umum Pesta Sekura (Sekuraan) ini hampir sama dengan upacara bersih desa sebagai ungkapan rasa syukur pada masyarakat Jawa. Namun sekuraan juga lebih identik dengan ungkapan kemenangan, kebebasan, dan kegembiraan jiwa manusia untuk berkreasi dan berekspresi. Dengan semangat itulah pesta sekura juga digelar untuk merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus setiap tahunnya.

Pada hari hari sebelum perhelatan, biasanya secara gotong-royong (beguai jejama) masyarakat pekon yang menjadi penyelenggara mempersiapkan membentuk kepanitian pekon, agar kegiatan esok harinya berjalan lancar dan tertata, diantaranya mempersiapkan batang batang pohon pinang beserta hadiah atau buah yang akan dipasang diatas pinang. Agenda sekuraan diisi dengan berbagai atraksi kesenian daerah seperti pencak silat, pelantunan sastra klasik muayak, hadra, ngarak sekura. Dan diakhir pertunjukan masyarakat diperlihatkan atraksi panjat pinang atau disebut oleh masyarakat setempat dengan cakak buah, seluruh peserta pesta sekura yang terlibat menggunakan sarana topeng sebagai ekspresi diri masing-masing.

Ada dua jenis sekura yang terdapat di dalam suatu pesta sekura. pertama, sekura kamak yang bermakna sekura kotor, biasanya menggunakan topeng yang unik lebih unik terbuat dari kayu dengan karakter topeng yang jenaka atau mengerikan, sedang pada perlengkapan kostumnya dipakai peralatan yang seadanya seperti karung, pakaian bekas, atau menggunakan tumbuh tumbuhan. Sekura inilah yang berkarakter kotor dan bebas, dan merupakan peserta cakak buah di akhir pesta. Kedua, sekura kecah yang bermakna bersih, sekura ini menggunakan topeng dan perlengkapan kostum yang terbuat dari kain (sinjang). Salah satu di antaranya adalah selendang atau sinjang miwang yang digunakan untuk properti kepala, sedangkan kain lainnya dipakai pada bagian pinggang yang dipenuhi gantungan kain panjang, dahulunya kain panjang yang dipakai oleh sekura tersebut adalah hasil pinjaman dari muli-muli yang ada dalam jukku/kebot adatnya. perlengkapan lainnya adalah kaca mata, pedang, dan cermin. Sekura betik ini biasanya digunakan oleh seorang pemuda untuk ikut meramaikan pesta serta bersenda gurau dengan muli-muli yang sedang menonton perhelatan.

Semua masyarakat berbaur menjadi satu, baik yang berkedudukan sebagai sultan kepaksian maupun masyarakat adatnya, baik pemimpin dalam pemerintah maupun rakyat biasa, semuanya mengungkapkan rasa syukurnya dan saling bersilaturahmi. Tidak jarang Sultan dan kerabatnya turun dari Gedung Dalom diiringi kelengkapan adatnya untuk ikut menyaksikan pesta sekura tersebut, seperti tahun lalu 2010 terlihat Sultan Edward menggendong putra mahkotanya turun dari Gedung Dalom Kepaksian Pernong di Batubrak untuk menyaksikan sekura cakak buah. Begitu juga masyarakat dari pekon lain berdatangan untuk ikut memeriahkan pesta sekura sehingga perhelatan pesta sekura semarak.

Untuk masyarakat yang pekonnya sedang menggelar perhelatan biasanya dengan sukarela dan senang hati menyiapkan sajian masakan pada tiap lamban (rumah). Jika nanti ada sekura yang ngejalang atau bersilaturahmi ke salah satu rumah, juga disajikan untuk para tetamu dan sanak famili yang datang bersilaturahmi.


Tantangan dan Harapan

Terlalu banyak nilai nilai luhur yang bisa kita petik dari sekadar perhelatan rutinitas belaka, nilai transendental yang melengkapi perhelatan pesta sekura tersebut berwujud rasa syukur terhadap Tuhan atas segala nikmat yang telah dilimpahi-Nya, tindak lanjut rasa syukur tersebut berbuah saling berbagi dan bersilaturahmi dalam rangkaian pesta sekura. Dapat dipahami karena budaya terdiri atas perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antarsesama manusia serta antara manusia dan alam semesta.

Juga dapat kita perhatikan setiap ciptaan Tuhan yang berpasang pasangan, ada baik juga ada buruk sepertihalnya sekura betik dan sekura kamak, hendaknya mampu diupayakan agar selalu mencerminkan keharmonisan dalam perbedaan. Bersinergi untuk besatu, berekspresi, gotong royong, keramah tamahan, proporsional dalam berinteraksi juga bagian dari nilai luhur yang bisa kita ambil dari rangkaian pesta sekura di atas.

Tidak hanya demikian, sebagai suatu identitas, pesta sekura juga menghadapi benturan keras dari arus globalisasi dan kemodernan, yang terkadang perangkat konsep tradisi beserta tata nilainya dengan mudah tergantikan dan ditinggalkan pemiliknya untuk sesuatu yang lebih instan dan menjanjikan. Pemudanya malu untuk bersekura, dalam penyelenggaraanya meninggalkan atraksi kesenian tradisi setempat dan hanya berfokus pada hiburan bernuansa kemodernan, atau berhenti pada “geolan biduan” yang menghibur, kesemuanya menjadi pertanda bahwa terkikisnya keluhuran dan semangat pesta sekura yang telah berlangsung lama di dataran Sekala Brak.

Sungguh banyak pekerjaan rumah bagi kita sebagai pemegang identitas tradisi luhur, dalam memasuki milenium kemodernan yang antara lain, ditandai dengan terjadinya perubahan tata nilai sebagai akibat adanya interaksi antarbudaya dalam proses globalisasi yang sedang melanda dunia, masih membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten sehingga mampu mengatasi ketertinggalan juga mengatasi degradasi tradisi. Sinergi segenap komponen Masyarakat, seperti Pemerintah sebagai penggerak dan fasilitator, pimpinan adat sebagai pengayom masyarakat dan adat tradisi, pemuda atau masyarakat sebagai pemilik identitas, dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas nasional yang dimiliki dan akan terus dimiliki. n

Novan Adi Putra, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 3 September 2011

No comments:

Post a Comment