Oleh Moh. Rizky Godjali
SATU pekan berjalan, headline media massa nasional maupun lokal dijejali peristiwa yang terasa ironi di nurani kita sebagai makhluk beradab. Paling tidak, ada dua peristiwa utama mengenai aksi huru-hara yang menyedot perhatian publik. Pertama, siswa SMAN 6 Bulungan Jakarta menganiaya wartawan. Kedua, bentrok antar mahasiswa Unila dari dua fakultas berbeda.
Yang membuat ironi, aksi anarki dilakukan justru oleh pihak yang terlanjur mendapat predikat kaum intelektual oleh sebagian besar masyarakat kita. Kedua kejadian itu menyajikan kepada publik betapa buruknya penanaman moral dan cara berpikir rasional yang dilakukan dalam sistem pendidikan di negeri ini.
Ketika bangsa ini mendambakan suatu generasi, yang memiliki taburan ilmu pengetahuan dan teknologi, diharapkan mampu mengangkat martabat negara pada masa mendatang, tapi ternyata kontradiksi yang menyeruak di kehidupan nyata. Golongan terdidik yang berlaku anarki secara berjamaah membuat rakyat pesimistis Indonesia pada masa depan akan dipimpin orang berintelek dan bernilai moral adiluhung.
Tak hanya kedua peristiwa tersebut, ada belasan peristiwa ricuh lainnya yang terjadi setiap Minggu di beberapa daerah. Tak jarang menyertakan pelajar dan mahasiswa. Terlepas dari sistem pendidikan di Indonesia yang seharusnya tidak mengabaikan ajaran akhlak manusia dan perkembangan psikologi peserta didik tiap jenjangnya, penulis ingin mengkritisi sisi fanatisme yang merekat di balik sebagian peristiwa bentrok antarkelompok pelajar serta mahasiswa.
Tak dapat dihindarkan, fenomena fanatisme kini marak menghinggapi generasi usia remaja hingga umur 30 tahun. Bahkan, fanatisme makin berkembang dan memiliki pola tertentu di tengah masyarakat. Fanatisme memiliki tingkat dampak negatif yang tinggi manakala memayungi kaum pemuda dengan segenap semangat bergerak dan melakukan perlawanan yang besar.
Apalagi, jika fanatisme terkelola dengan erat tapi tetap toleran terhadap tindak kekerasan. Maka, tinggal menunggu momentum tepat bagaimana fanatisme menunjukkan taji. Bermanfaat bagi kepentingan golongan yang fanatik tersebut namun merugikan bagi pihak lain. Imam Khomeini mengatakan fanatisme/ashabiyyah adalah perilaku batin yang membela keyakinan yang terikat atas pilihan dirinya. Ketika seseorang melindungi dan membela keluarganya serta membela orang-orang yang memiliki pertalian atau hubungan tertentu dengannya, seperti keyakinan agama, ideologi, ataupun tanah air, seperti itulah fanatisme.
Lumrah jika setiap insan memiliki rasa kepemilikan dan pembelaan terhadap keluarga, kelompok, agama, dan sukunya. Namun, jiwa saling memiliki yang dibalut persamaan kondisi tidak lantas buta terhadap pelanggaran hukum dan norma.
Fanatisme memang akan tumbuh subur pada komunitas yang dihadapkan pada situasi, teraniaya, kalah, atau terancam eksistensinya. Dr. Abd. Rahman Isawi, psikolog dari Universitas Iskandariyah (pada sebuah artikel Mubarok Institute), berpendapat jalan pikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain.
Keberadaan fanatisme tidak bisa lepas dari dinamika aktual umat di dunia. Globalisasi abad modern mengharuskan konsekuensi logis manusia hidup tanpa sekat perbedaan yang berorientasi pada faktor tradisional seperti suku dan agama. Dalam perkembangannya, selalu menghasilkan pihak mayoritas yang mendominasi dan adanya golongan marjinal.
Pada prakteknya, terkadang menghalalkan segala cara dengan menerabas aturan hukum. Manusia di kemudian hari membentuk komunal-komunal parsial dalam rangka menjadi pihak yang dominan dan tidak tertindas. Tidak lagi terbatas pada faktor tradisional, tapi lebih fleksibel. Ada yang berdasarkan persamaan profesi, hobi, status sosial, tempat yang sama dalam mengenyam pendidikan, bahkan mungkin memiliki persamaan kondisi tertindas. Kelompok-kelompok tersebut diikat apa yang disebut solidaritas.
Emile Durkheim memberi referensi solidaritas sebagai fenomena yang menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan antarindividu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat pengalaman emosional bersama. Sosiolog asal Prancis itu menyebutkan ada solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kolektif yang dipraktekkan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di antara para warga masyarakat. Selanjutnya, ada solidaritas organik yang didasarkan pada saling kebergantungan akibat spesialiasi fungsional individu di tengah kehidupan warga yang kompleks.
Fanatisme timbul sebagai risiko dari solidaritas yang terbangun kuat. Ada proses pengkaderan yang mapan untuk memelihara solidaritas agar berjalan suistainable demi bertahannya satu kelompok atau dalam memperjuangkan kepentingan kelompok. Patut menjadi suatu diskursus, lalu pada kondisi seperti apa dan bagaimana menempatkan solidaritas dan fanatisme pada relung yang tepat dan bermanfaat. Sering terjadi kesalahan berperilaku di masyarakat kita dalam mengelola fatanisme dan solidaritas.
Kericuhan yang melibatkan dua kelompok berbeda kerap meneriakkan solidaritas dalam agenda membela martabat kelompok. Padahal, apapun bentuk kekerasan yang berujung kerugian materiel, apalagi hingga timbulnya korban luka dan jiwa, jelas bentuk pelanggaran hukum. Kelompok yang melakukan bentrokan tidak menyadari bahaya fanatisme yang menemukan titik kulminasi saat pecahnya tindak kekerasan. Ini yang selalu dikhawatirkan banyak pihak bahwa fanatisme sempit yang selalu mengedepankan kebencian dan tendensi kepada pihak lain telah membutakan mata hati akan norma hukum.
Boleh saja setiap kelompok memiliki solidaritas yang tinggi. Namun, jangan menistakan hukum yang menjadi panglima untuk mengatur tata kehidupan warga negara. Konstitusi negara Indonesia menyiratkan setiap aktivitas sosial berdasarkan hukum layaknya sebagai negara hukum, bukan sebagai negara tirani.
Akan sangat mulia jika setiap kelompok dengan pendukung fanatiknya masing-masing terikat nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal, seperti kejujuran, toleransi, keterbukaan, dan sebagainya. Dengan demikian, seberapa kuatnya solidaritas yang terbangun tetap harus berani menindak anggota kelompok yang melanggar hukum atau nilai-nilai universal.
Hendaklah fanatisme buta kita retas dengan cara sadar dalam mengakuai kesalahan kelompok sendiri dan saling menghargai kepentingan kelompok lain. Sebagian besar kasus tawuran atau keributan antarkelompok lebih disebabkan pada persoalan tidak prinsipil lalu mengatasnamakan solidaritas. Di antara mereka sulit membedakan mana perilaku masuk kategori pelanggaran hukum dan sukar mengakui kesalahan yang menabrak nilai universal.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam rangka mereduksi sifat buruk fatanisme yang meresap di rasa solidaritas. Tidak lupa dari kita agar terus mengampanyekan common platform untuk senantiasa dijunjung tinggi setiap kelompok dengan harapan keberadaan kelompok tidak disalahgunakan untuk hal yang merugikan kemaslahatan umat.
Moh. Rizky Godjali, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 September 2011
No comments:
Post a Comment