September 26, 2011

Mahasiswa Bukan Hanya Tawuran

Oleh Wandi P. Simanullang


SANGAT memilukan ketika mendengar berita tawuran antarmahasiswa di Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unila. Hanya karena saling senggol saat arak-arakan wisuda, tawuran pun tercipta dan puluhan motor rusak, kaca-kaca pecah, serta puluhan orang luka-luka.

Di beberapa kota, seperti Makassar, Medan, dan Jakarta, sering diberitakan terlibat tawuran antar mahasiswa. Tak jarang tawuran mahasiswa karena dipicu persoalan sepele, seperti saling ejek, perempuan, dan kalah pertandingan olahraga.

Tawuran antarmahasiswa bila diidentifikasi kebanyakan diawali masalah satu atau beberapa orang mahasiswa yang tergabung dalam satu kelompok, kemudian berselisih dengan mahasiswa kelompok lain. Karena tergugah rasa solidaritas kelompok dan provokasi, akhirnya anggota lainnya terlibat perselisihan tersebut dengan argumentasi membantu teman bermasalah.

Selain solidaritas, faktor pemicu lainnya: arogansi. Arogansi dari salah satu kelompok, yaitu: jurusan, fakultas, dan universitas bila tawuran itu antara dua kampus yang berbeda. Arogansi lahir karena menganggap kelompoknya paling baik, hebat, dan solid. Cara pandang terhadap kelompok lain pun berbeda, yaitu menganggap kelompok yang lain lemah.

Mahasiswa yang dianggap sebagai kelas intelektual akhirnya berubah menjadi preman dan berperilaku barbar. Adegan lempar batu, perusakan kendaraan bermotor, gedung kuliah, bahkan terkadang fasilitas publik menjadi lumrah dilakukan. Sudah tentu ada harga mahal yang harus dibayar akibat gairah barbar tersebut: tersendatnya perkuliahan, hukuman dari kampus, dan pidana.
Padahal saat ini ekspektasi masyarakat terhadap mahasiswa sangat besar dan menjadi beban berat mahasiswa. Masyarakat menunggu daya kreatif, inovatif, dan solusi dari mahasiswa atas persoalan yang kerap melilit bangsa. Bila mahasiswa rajin tawuran, apakah mungkin dapat memenuhi ekspektasi tersebut? Ironisnya, hanya sedikit mahasiswa yang sadar akan ekspektasi tersebut.

Rasa solidaritas kelompok yang dimiliki mahasiswa sejatinya satu kekuatan besar. Lewat solidaritas inilah seharusnya mahasiswa memaksimalkan pengetahuan yang didapat saat kuliah dalam wujud sikap dan tindakannya. Apabila satu kelompok mahasiswa yang dilandasi semangat solidaritasnya dapat berbuat di masyarakat, ekspektasi masyarakat dapat terpenuhi dan persoalan di negeri ini berkurang.

Meredam Tawuran

Mungkin saya dapat berbagi pengalaman. Pada 14-10-2009 terjadi tawuran antara mahasiswa FISIP dan Fakultas Teknologi Industri (FTI) UPN Veteran Yogyakarta yang berujung penyerangan kampus FISIP. Kebetulan saat tawuran saya adalah pengurus BEM-FISIP yang baru berakhir jabatan kurang lebih dua bulan. Saya terlibat mediasi dengan mantan pimpinan di BEM FTI dan berusaha ikut mendamaikan adik tingkat yang bertikai.
Kesepakatan damai pun dicapai dan membentuk tim bersama untuk mencari provokator penyerangan. Rektor menyatakan akan menindak tegas provokator penyerangan dengan sanksi akademik dan bisa berujung drop out. Tapi nyatanya sampai kini sanksi itu tak kunjung diberikan, malahan sang provokator melenggang lulus dengan mulus.

Rektor Unila mengancam akan memberikan sanksi drop out kepada mahasiswa yang memprovokasi tawuran (Vivanews.com, 22-09-11). Saya berharap rektorat segera menemukan provokator dan benar-benar memberikan sanksi tegas. Sanksi tersebut perlu diwujudkan bukan hanya dalam kata-kata. Sanksi ini benar-benar penting untuk meredam tawuran, karena mungkin ada pihak yang merasa belum puas dalam tawuran tersebut. Selain itu, untuk menunjukkan kepada publik bahwa Unila tidak mentoleransi tindakan kekerasan dan memberikan shock therapy bagi mahasiswa yang ingin menciptakan tawuran baru.

Bila mengacu pada pemikiran Severin & Tankard (2005), salah satu bentuk komunikasi paling mendasar adalah persuasi. Persuasi sangat efektif dalam mencegah terjadinya suatu masalah daripada mengatasi permasalahan tersebut dengan kekerasan. Dengan demikian, pemegang jabatan struktural di kampus, mulai dari tingkat universitas sampai jurusan harus aktif berkomunikasi secara persuasi dengan mahasiswanya.

Apabila struktural kampus rajin membina komunikasi dengan mahasiswanya, kemungkinan dapat meredam terjadinya tawuran antarmahasiswa. Sebab, mahasiswa yang diperhatikan kampusnya cenderung segan melakukan kekerasan dan akan mengutamkan rasionalitas dalam menghadapi persoalan yang terjadi.

Demikian juga dengan organisasi kemahasiswaan, seperti: himpunan jurusan dan BEM, sebaiknya selalu memperhatikan dinamika yang berkembang di antara para anggotanya. Selalu tampil terdepan bila ada isu-isu yang berkembang menuju anarkisme dan berusaha meredamnya.

Wandi P. Simanullang
, Mahasiswa Magister Manajemen UGM

Sumber: Lampung Post, Senin, 26 September 2011

No comments:

Post a Comment