SUDAH 22 kali Yayasan Rancage memberikan hadiah sastra Rancage kepada para penulis Sunda yang menerbitkan buku karya sastra dan pantas mendapat penghargaan dibandingkan dengan buku-buku lain. Sudah 17 kali pula yayasan ini memberikan penghargaan serupa kepada penulis Jawa, 14 kali kepada penulis Bali, dan 2 kali kepada penulis sastra Lampung.
Itu artinya, sesuai dengan angka-angka itu pula, para pegiat Yayasan Rancage mengamati, membaca, dan menilai buku-buku yang diterbitkan sepanjang tahun sebelum tahun pengumuman pemenang. Mengingat sistem penilaian yang dilakukan Yayasan Rancage selaku pemberi hadiah, diberlakukan setahun sebelum pengumuman hadiah tersebut. Misalnya hadiah sastra Rancage 2010 diberikan kepada para penulis buku yang buku-bukunya diterbitkan sepanjang 2009.
Yayasan Rancage juga memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa di bidang bahasa, sastra, dan budaya Sunda, Jawa, Bali, maupun Lampung. Tahun ini, misalnya, Yayasan Rancage memberikan hadiah jasa kepada Karno Kartadibrata yang dinilai memperkaya bahasa Sunda melalui tulisan-tulisan yang bersifat sosial-politik di majalah Mangle.
Dua pekerjaan besar yang intens ini, dilakukan selama 22 tahun berturut-turut. Dengan beban tanggung jawab yang tentu saja tidak sedikit. Mengingat penggagas keberadaan penghargaan ini adalah Ajip Rosidi, budayawan yang notabene sudah menjadi seorang pakar di bidangnya.
Bahkan bila merunut kembali perjalanan Yayasan Rancage memberikan kedua hadiah ini, banyak sudah nama-nama peraih hadiah yang "nyongcolang" dan menghasilkan karya-karya terbaru (lagi) yang lebih baik pasca menerima Hadiah Sastra Rancage. Hal ini dapat diartikan, hadiah sastra Rancage sangat terkait dengan kualitas dan entitas si pembuat karya dalam melahirkan karya.
Alhasil, keberadaan hadiah sastra Rancage pun, tidak lagi sebatas simbol prestasi tetapi juga prestise. Adalah sangat prestisius (membanggakan) bila pengarang (penulis) berhasil memperoleh hadiah ini. Kenapa hal ini bisa terjadi? "Saya juga tidak tahu. Akan tetapi ternyata banyak sekali para penulis yang ingin mendapat hadiah itu," ujar Ajip Rosidi selaku penggagas hadiah ini di Pabelan pada malam menjelang penganugerahan hadiah sastra Rancage 2010.
Bila kita amati, memang belum ada lembaga yang secara konsisten -- sepanjang 22 tahun -- mau memberikan perhatian (mengamati, membaca, dan menilai) semua karya yang terbit sepanjang tahun. Kalaupun ada hadiah sastra yang diberikan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS) kepada para penulis yang menulis di media massa, itu pun tidak menetap.
Kendati begitu, ibarat kata, semakin tinggi pohon semakin kencang angin bertiup menerpanya. Usia Yayasan Rancage setidaknya, bila diukur dari awal pertama hadiah tersebut diberikan kepada para penulis dan orang-orang berjasa untuk sastra dan bahasa Sunda sudah mencapai 22 tahun. Maka sepanjang usia itu pula Rancage menerima berbagai kritik, saran, bahkan mungkin cercaan dari beberapa pihak.
Menyikapi respons masyarakat seperti itu, Rancage melakukan beberapa perubahan. Persyaratan yang mengharuskan buku (karya) yang dinilai harus sudah diterbitkan dan beredar di toko buku, diberlakukan karena pada tahun tertentu Yayasan Rancage pernah "kecolongan". Buku yang memenangkan hadiah tersebut ternyata baru berupa "cetakan" yang belum diterbitkan dan beredar di toko buku.
Padahal, tujuan lain Yayasan Rancage bukan saja untuk mendorong semangat para penulis untuk dapat terus berkarya, tetapi juga menghidupkan penerbitan buku-buku sastra dan bahasa daerah. Hal itu karena penerbitan buku-buku sastra daerah baru sebatas industri rumahan dan belum sampai pada industri perbukuan yang sesungguhnya.
Kalaupun "kecolongan" itu tadi menjadi "kelalaian" dari Yayasan Rancage selaku penyelenggara, maka sangat mungkin terjadi pula "kelalaian" lain. Seperti yang terjadi pada penilaian buku-buku sastra Sunda yang terbit sepanjang tahun 2009. Novel DENG karya Godi Suwarna yang dilaunching sangat meriah di CCF, ternyata luput dari penilaian juri.
Kenyataan ini sempat "memanaskan" jejaring sosial para pecinta Godi. Namun, pada konferensi pers sebelum penyerahan hadiah, Erry Riyana Hardjapamekas selaku Ketua Pelaksana Penyerahan Hadiah Sastra Rancage 2010 mengatakan, penilaian juri sah adanya. Juri berhak menentukan mana karya terbaik dan tidak.
Oleh karena itu, adalah langkah yang arif, bila Yayasan Rancage menerapkan pola penjurian yang sama untuk buku-buku sastra dan bahasa Sunda seperti halnya pola penjurian yang dilakukan Bali.
Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra Udayana selaku juri Rancage untuk sastra dan bahasa Bali, membeberkan, ia sebetulnya diberi keleluasaan penuh oleh Ajip Rosidi dalam membaca, memilih, dan menentukan pemenang. Namun untuk menjaga keterbukaan dan pengumpulan karya yang lebih objektif dan tidak terlewatkan -- bahkan ini menurutnya juga meringankan dirinya selaku juri -- Nyoman bekerja sama dengan media cetak lokal. Media ini mengumumkan kepada warganya secara terbuka untuk mengirimkan buku-buku sastra dan bahasa daerah Bali yang terbit sepanjang tahun itu kepada panitia dan media yang bekerja sama.
Demikian pula dalam memilih orang-orang yang dinilai berjasa di bidang sastra, bahasa, dan budaya,Nyoman membolehkan masyarakat atau siapa pun mengusulkan orang-orang yang berjasa di bidangnya tersebut untuk dinilai. Berdialog dengan beberapa unsur media yang berpengaruh di bidang sastra, bahasa, dan budaya juga dilakukan Nyoman, termasuk dengan sejumlah tokoh terkait.
"Hal ini bagi saya sangat menghidupkan wacana keberadaan sastra daerah itu sendiri di masyarakat. Lagi pula bagaimana pun peran media dan era keterbukaan yang sedang terjadi adalah realitas yang tidak dapat dikesampingkan perannya dalam sebuah lomba," tuturnya.
Dengan pola penjurian seperti itu, sejak awal pemberian hadiah sastra Rancage 14 tahun lalu kepada karya dan jasa sastra dan bahasa Bali, belum pernah ada friksi yang menyatakan keberatan dan penolakan atas penilaian yang sudah dilakukan juri dari masyarakat. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment