June 12, 2010

Tanah Air: Danau Ranau, Sumber Hidup Sekaligus Pranata Sosial

Oleh Boni Dwi Pramudyanto dan Ilham Khoiri

SELAMA ratusan tahun, air dari sekitar 50 sumber mata air dan hutan-hutan di sekeliling Danau Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, telah menghidupi warga dari generasi ke generasi.

Kesejukan di tepian Danau Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan, Minggu (30/5), tecermin di pagi hari. Danau Ranau yang luasnya lebih kurang 125,9 kilometer persegi ini berada di antara Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung. (KOMPAS TV/OTTO FERDINAND)


Ranau bukan lagi danau di seberang sana, tetapi darah daging pranata sosial warga setempat.

Sampai sekarang air tetap melimpah, yang dimanfaatkan sebagai sumber irigasi bagi 400.000 hektar lahan padi yang terhampar di sepanjang aliran Sungai Komering.

Sabtu (15/5) pagi, kabut tipis masih menyelimuti sebagian kawasan danau yang sunyi dan hening. Sejauh mata memandang, hanya pesona yang bisa tertangkap indra. Pesona Danau Ranau terlihat dari hamparan air jernih kebiruan yang sekelilingnya dibalut bentangan luas hutan perawan. Keindahan semakin lengkap setelah melihat Gunung Seminung yang berdiri kokoh di tengah danau. Ya, danau ini memang mewakili segala bentuk ungkapan manusia yang merujuk pada konsep keindahan alam.

Masyarakat di sekitar Danau Ranau adalah contoh tentang harmoni antara alam dan manusia.

Sikap hidup memperlakukan alam dengan bijak terlihat dari kearifan dalam memanfaatkan air danau untuk pertanian dan perikanan. Karena itu, sistem irigasi lokal yang dibuat ratusan tahun silam oleh nenek moyang mereka mampu bertahan hingga sekarang.

Menurut Bakri Nirwan (56), petani sekaligus tokoh masyarakat Desa Banding Agung, semasa ia masih kecil atau lebih dari 50 tahun lalu, petani Danau Ranau bergotong royong membangun saluran irigasi dengan cara membangun sebuah parit dari tanah liat.

”Setelah sempat bertahan selama sekitar 20 tahun, dinding parit tanah liat ini rusak. Meski saat ini sudah diganti dengan beton, aliran air ini masih tetap peninggalan nenek moyang kami,” katanya.

Warga setempat berusaha memelihara saluran irigasi agar air bisa mengalir lancar. Untuk merawat saluran irigasi ini, setiap petani menyumbang 10 kaleng beras setiap tahun. Beras itu digunakan untuk mengupah belasan buruh bangunan yang bertugas memperbaiki siring irigasi dari tanah liat yang rusak.

”Bagi saya, iuran 10 kaleng beras ini sebenarnya bukannya sedikit. Namun, kami punya keyakinan 10 kaleng itu akan kembali lagi menjadi berpuluh-puluh kaleng beras, dengan syarat irigasi tanah liat ini tetap terjaga kondisinya,” katanya.

Sawah

Ketika mengamati areal pertanian padi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan pada pertengahan Mei 2010, hamparan petak-petak sawah di sekitar Danau Ranau ataupun di sepanjang aliran sungai terlihat bak untaian permadani hijau. Sebagian hamparan lahan pertanian yang saling menyambung satu sama lain di Desa Buay Pematang Ribu, Kecamatan Ranau Tengah, itu tampak kekuningan pertanda saatnya petani memanen padi.

Beberapa petani tengah memotong batang padi dengan ani-ani. Sebagian lainnya sibuk menggenjot alat manual pemisah bulir padi agar terlepas dari tangkainya. Ada juga petani muda yang memanggul karung berisi gabah panen. Raut wajah gembira terpancar dari petani-petani tersebut. ”Saya bisa memperoleh 1,5 ton beras setiap kali panen di lahan yang hanya 0,5 hektar,” kata Hasan (57).

Petani usia senja itu menuturkan, panen padi di kawasan pertanian ini bisa berlangsung hingga tiga kali setahun.

Warga Ranau dan sekitarnya merupakan salah satu generasi Indonesia yang benar-benar merasakan manfaat dari lingkungan yang lestari. Hamparan hutan perawan di Gunung Seminung dan Bukit Barisan Selatan di sekeliling Danau Ranau, menjadi kawasan tangkapan air yang selalu terjaga selama ratusan tahun.

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ulu Selatan, ada lebih dari 50 sumber air yang mengalir melalui 20 sungai kecil. Aliran ini berkumpul di Danau Ranau. Volume air Danau Ranau yang diperkirakan mencapai 500 juta meter kubik ini mengalir ke Sungai Selabung, lalu menyatu membentuk aliran Sungai Saka di Kota Muara Dua.

Akhirnya, aliran air bergabung membentuk Sungai Komering yang bermuara ke Sungai Musi di Kota Palembang. Aliran ini mengaliri ratusan ribu hektar (ha) sawah di sejumlah kabupaten, mulai dari OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Komering Ilir, Kota Palembang, hingga berakhir di Banyuasin.

Sekitar 200.000 ha lahan pertanian padi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur juga bisa dipanen tiga kali setahun karena didukung sistem bendungan dan irigasi air yang terbesar di Indonesia, yakni Bendungan dan Irigasi Upper Komering. Bendungan dan ratusan kilometer saluran irigasi yang pembangunannya diprakarsai almarhum Presiden Soeharto ini mampu bertahan lebih dari 30 tahun.

Danau Ranau juga menjadi habitat berbagai jenis ikan, seperti ikan seluang, belida, tapa, dan patin. Di samping budidaya ikan keramba apung, seperti bawal, mas, patin, lele, dan gurami.

Khusus di kawasan danau, adat suku Ranau melarang setiap warganya menangkap ikan dengan peledak, racun, pukat, ataupun setrum listrik. Alasannya, peralatan itu merusak kehidupan satwa air. Alat yang dibolehkan hanya tombak, panah, jaring, dan pancing.

Sayang seribu sayang, potensi serta eksotisme nuansa alam dan kearifan budaya lokal mengelola alam itu belum didukung infrastruktur memadai. Lihat saja, jalan darat yang rusak parah, keterbatasan pasokan listrik, dan minimnya fasilitas penginapan.

Dari Kota Palembang, kerusakan jalan ini terlihat dari ruas Muara Dua menuju lokasi danau sepanjang 50 kilometer. Lebih dari 40 titik lubang jalan serta puluhan titik material longsor yang menimbun badan jalan. Fasilitas listrik dan hotel juga tak kalah memprihatinkan karena saat ini hanya ada dua hotel di Kecamatan Banding Agung, milik PT Pusri dan Pemkab OKU Selatan.

Buruknya pelayanan listrik juga terlihat ketika kami menginap selama tiga hari di salah satu hotel. Listrik hanya mengalir pada malam hari. Menurut Husin, pengelola hotel PT Pusri, kondisi listrik seperti itu sudah terjadi bertahun-tahun tanpa ada upaya pembenahan.

Hebatnya, hal ini tak serta-merta memengaruhi sikap hidup warga menjaga kelestarian alam. Kuncinya terletak pada kuatnya komitmen warga dalam melestarikan hutan dan air di sekitar Gunung Seminung dan Bukit Barisan Selatan. Setiap warga patuh tidak menebang pohon di hutan dan di dekat mata air.

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Juni 2010

No comments:

Post a Comment