June 6, 2010

Warna Muram Puisi-Puisi Dina Oktaviani

Oleh Oyos Saroso H.N.*

LAMA tidak terdengar aktivitasnya di Lampung, penyair-cerpenis Dina Oktaviani ternyata sudah menyelam begitu dalam di lubuk sastra Yogyakarta. Akhir Mei 2010 lalu Dina Oktaviani pulang kampung untuk meluncurkan buku puisi terbarunya bertajuk Hati yang Patah Berjalan (HPB) Ini sebenarnya buku yang tak terlalu baru, karena sudah diterbitkan Broken Heart Walking, Yogyakarta pada Agustus 2009. HPB ditulis dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris.

PELUNCURAN BUKU. Penyair Dina Oktaviani dalam peluncuran buku puisinya, Hati yang Patah Berjalan di Taman Budaya Lampung, Sabtu (29-5). (ISTIMEWA)


Sebelumnya, pada 2006 lalu Dina sudah menerbitkan buku antologi puisi bertajuk Biografi Kehilangan (2006). Sebagian besar puisi-puisi yang terkumpul dalam buku itu sebenarnya sudah pernah saya baca secara selintas,baik melalui koran maupun internet. Namun, puisi-puisi Dina yang sudah dikemas dalam bentuk buku baru saya baca beberapa lalu karena adanya permintaan penyair Iswadi Pratama kepada saya untuk membedah puisi-puisi terbaru Dina Oktaviani.

Buku kumpulan Hati yang Patah Berjalan terdiri atas tiga bagian: Jalan Kecil Menuju Dina (A Path Towards Dina), Trinitas (Trinity), dan Rumah-Rumah Bayangan (Imagine House). Jalan Kecil Menuju Dina terdiri atas 23 puisi, Trinitas terdiri atas 10 puisi yang hanya diberi penanda angka (tanpa judul), sementara Rumah-Rumah Bayangan terdiri atas 60 puisi pendek yang umumnya terdiri dari satu bait. Puisi-puisi pendek dalam bagian terakhir buku ini seperti pupuh atau bait dalam syair tembang Jawa.

Dengan komposisi isi puisi yang warna-warni seperti itu, terus terang, membuat saya sebagai pembaca sulit untuk membaca dan memberikan penilaian yang utuh tentang puisi-puisi Dina. Puisi-puisi pada bagian pertama, misalnya, bentuknya sangat kontras dengan puisi-puisi pada bagian kedua dan ketiga. Karenanya, menguraikan jejak perjalan estetika puisi-puisi Dina yang terangkum dalam Hati yang Patah Berjalan juga menjadi sulit.

Dalam puisi “Jalan Kecil Menuju Dina”, Dina Oktaviani menulis begini: dia akan menyusur kembali/batu-batu tajam/jalan kecil menjauhi rumah//melihat laut pada langit/mendengarkan kata-kata cinta dari bibir angin/di setiap kelokan dan kejatuhan//tapi cinta apakah ini/yang telah melukai/dan mencuri kesenangan dari rasa sakit?//dadanya berdarah/hatinya tidak//matanya penuh igauan;/mengembara bagai musik/yang memberi gangguan berbeda/kepada setiap telinga//siapa yang sungguh mendengar/dan akan datang menjemputnya/dan mengatakan:/”semua cuma mimpi/tapi ada artinya”/dan bukan sebaliknya//langit makin gelap/bintang-bintang bagai lampu kapal/dan bulan itu adalah dirinya//yang pada kelolan dan kejutahan ke sekian/yang pada bisikan angin dan kucuran darah ke sekian/telah tak takut menjadi siapa saja//bahkan menjadi dina/seperti tak seorang lain pun bisa//.

Puisi pertama dalam antologi Hati yang Patah Berjalan itu sedikit memberikan rambu untuk memasuki puisi-puisi Dina lainnya. Puisi itu menjadi semacam kredo. Bukan kredo kepenyairannya, tetapi kredo ‘kedirian” Dina. Teks puisi tersebut seolah menyingkapkan tentang sosok Dina Oktaviani yang memiliki jalan hidup “penuh batu-batu tajam”, Dina yang meskipun “dadanya berdarah, tetapi hatinya tidak”. Aku-lirik mempertegas dirinya sebagai “si luka mahatabah” dengan larik: /dan bulan itu adalah dirinya//yang pada kelolan dan kejutahan ke sekian/yang pada bisikan angin dan kucuran darah ke sekian/telah tak takut menjadi siapa saja//bahkan menjadi dina/seperti tak seorang lain pun bisa//.

Sebagai pembaca, saya sudah cukup bisa membayangkan perjalanan hidup macam apa yang dilalui si aku-lirik. Itu karena sebagai penyair Dina membangun puisinya dengan citraan penglihatan, citraan rabaan, citraan perasaan, dan citraan-citraan lainnya yang seolah membangun ruang dan waktu tertentu. Bangunan ruang dan waktu itulah yang memungkinkan pembaca bisa memasuki ruang-ruang yang ada.

Seandainya ada titi mangsa pada tiap puisinya, mungkin saya atau pembaca lain akan lebih mudah untuk melacak jejak kepenyairan Dina. Termasuk menguraikan perkembangannya sebagai “penyair belia” hingga menjadi penyair matang seperti sekarang. Namun, dengan “kredo” itu saya, dan mungkin pembaca lain, sudah cukup terbantu untuk menyelami lebih dalam puisi-puisi Dina. Apalagi, dalam beberapa puisi lain Dina juga menorehkan jejak yang erat kaitannya dengan waktu, suasana, hujan, pintu, jendela yang membangun satu atau beberapa citraan yang kuat.

Kuatnya citraan pada puisi-puisi Dina membuat pembaca terlena dan mengabaikan apakah sang penyair bekerja keras menaklukkan unsur-unsur lain pembentuk puisi atau tidak. Saya pun ikut terlena dan terjebak. Biasanya, ketika membaca puisi milik orang lain saya akan memperhatikan apakah puisi itu cukup padat-padu atau tidak, bagaimana musikalitasnya, apakah penyair mengabstraksikan yang konkret atau justru mengkonkretkan yang abstrak.

Saya juga sering memperhatikan detail bagaimana si penyair membangun tipografi, apa maksud tipografi itu, bagaimana penyair membangun rima, dsb. Sebagai pembaca-penikmat puisi, saya acap “geram” dengan penyair yang memaksakan puisi-puisi mengejar rima atau sengaja memanjang-manjangkan puisi tanpa alasan kuat. Namun, Dina tidak membuat frekuensi kejengkelan saya bertembah. Bahkan, saya berani katakan: Dina abai terhadap rima, tapi sangat peduli pada bangunan citraan. Tengoklah puisi-puisi Dina, betapa di sana terhampar aneka citraan sonder adanya pertimbangan rima, bernada suram tapi dengan bahasa yang lincah. Bahasa di tangan Dina menjadi permainan yang indah.

Bait dalam puisi berikut, misalnya, tampak kuat citraannya tetapi tanpa pertimbangan rima yang matang: apa yang membuatmu gemetar kini/malam hanya sesuatu yang kerap lewat/apa yang belum kauketahui tentang perihnya/kekasih yang dengki, teman yang pudar di angkasa// (Puisi “Hantu-Hantu Tanjungkarang”, HPB, hlm. 41). Banyak puisi Dina seperti khotmah filsafat tentang keperihan dan cinta. Memang unsur musikalitasnya masih terasa—sehingga puisi-puisinya enak dinikmati--, tetapi Dina tampak kurang mempertimbangkan rima.

Apakah itu salah? Jelas tidak. Rima dalam puisi bolehlah dibilang urusan orang yang pernah “makan pojok sekolahan sastra”, seperti saya, misalnya, yang memang ada teori yang mendasarinya. Namun bagi penyair, ada tidaknya pertimbangan rima bukanlah persoalan sangat penting. Bagi penyair, yang penting adalah apakah puisi-puisi yang dilahirkan bisa dinikmati orang lain, membuat pembaca bisa “menyelam” dan “berenang” di dalam lautan makna puisi. Saya bahkan sering menemukan “calon puisi bagus” justru hancur karena si penyairnya terlalu bernafsu mempertimbangkan rima agar terasa enak terdengar di telinga. Saya katakan “calon puisi bagus” karena puisi itu sebenarnya bisa jauh lebih bagus jika tidak memaksanakan rima.

Di sinilah, menurut saya, salah satu letak “kedewasaan” dan kematangan Dina. Selain soal teknik membangun puisi, yang penting dari Dina barangkali adalah sikap kepenyairan dan bagaimana cara dia memandang hidup. Saya kira hanya seorang yang matang dan dewasa yang bisa menertawakan diri sendiri atau menciptakan humor tragik saat dirundung pengkhianatan. Dalam kegalauan dan hati yang patah pun Dina menunjukkan humor dan kenakalannya. Ia menulis dalam “Jebakan” seperti ini: barangkali kita mesti mengubah tanda cinta/dengan gambar otak terbalik atau telapak tangan://setiap pesan, setiap kerinduan/setiap kali aku terjebak di tengah-tengah pengkhiatan ini/aku merasa aku mencintaimu/dengan segalanya kecuali hatiku//.

Hampir semua puisi yang terangkum dalam Hati yang Patah Berjalan (HPB) berkisah tentang cinta, rindu, patah hati (?), keputusasaan, kegaulauan, harapan, kemarahan. Hampir semuanya bernada muram. Bahkan, saat hendak mengungkapkan rasa cinta pun Dina masih menunjukkan kemuraman: aku berharap mengatakan cinta/ketika cuaca memburuk/dan malam mengalir//kengerian di jalan-jalan/hatika tak bisa beranjak ke mana-mana//ia tahu, di tengah perasaan yang berbahaya/dusta satu-satunya yang kuandalkan//tapi aku berharap mengatakan cinta/ketika lonceng bergerak/dan rasa sakit menemukanku di pintu rumah//....

Warna dan nada muram pula yang ada ada dalam “Stasiun yang Kering”, “Inertia”, “Potret di Jendela”, “Kemiskinan Cinta”, “Jebakan”, “Lanskap Dalam”, “Ulang Tahun Perkawinan”, “Nyanyian Citnta”, “Hantu-Hantu Tanjungkarang”, “My Favourite Path”, “Nyanyian Pemabuk”, “Hati yang Patah Berjalan”, dan “Kampung Halaman Masa Depan”. Yang menarik dari puisi-puisi bernada muram itu, aku-lirik tidak tampak sebagai si lemah. Itu sangat tegas, misalnya, dalam puisi “Nyanyian Pemabuk”: ...aku nikmati perjalanan seorang diri/di mana cuaca juni demikian mengancam/dan aku tidak merasa takut dan keji//aku tidak ingon berhenti/bahkan jika yang paling berharga dari masa laluku/tiba-tiba muncul di hadapanku dengan tangan terbuka//....

Dalam memori saya, Dina Oktaviani adalah penyair yang pernah menulis puisi dengan tema dan isi puisi yang melampuai usianya. Ya, ketika berusia belasan tahun dan masih duduk di bangku SMA, Dina pernah menulis puisi dengan tema cinta-birahi. Masih di usia belasan, Dina juga menulis puisi-puisi layaknya penyair mapan. Makanya, tak mengherankan jika sejak duduk di bangku SMA pula puisi-puisi Dina sudah bertebaran di sejumlah koran nasional dan daerah.

Sampai di sini saya curiga: jangan-jangan Dina bukanlah lagi seorang penyair, tetapi puisi itu sendiri. Jangan-jangan puisi-puisi datang ke hadapan aku-lirik, dihirup dalam satu tarikan napas, lalu dihembuskan kembali ...”puah!”.... Maka jadilah puisi.

Mungkinkah Dina mewarisi bakat Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra kelahiran Cile yang sudah menulis puisi ketika baru berusia 10 tahun? Entahlah. Yang paling pasti, Neruda tidak melulu menulis cinta bernada muram. Namun, dengan kemampuan “mengunyah” karya dunia lewat penguasaan bahasa asingnya yang baik, saya kira Dina bisa bisa belajar dari penyair-penyair ternama dunua. Dengan begitu tiap tarikan napas Dina akan menjadi kilauan kata dan bongkahan puisi yang tinggal diurai jadi “permata”. Seperti juga Neruda, tiap langkah kecil Dina juga bisa menjelma keindahan. ***

* Oyos Saroso H.N., Pengamat sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Juni 2010

No comments:

Post a Comment