December 7, 2008

Apresiasi: Seni Grafis, Bahasa Rupa yang Belum Memasyarakat

Oleh Christian Heru Cahyo Saputro*

KOMITE Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung kerja bareng Taman Budaya Lampung dan Media Arts baru usai menggelar diskusi dan workshop seni grafis yang melibatkan 40-an seniman, mahasiswa, dan pelajar. Kegiatan yang mengusung tajuk Meniti Garis, Menuai Bentuk ini bertujuan memasyakaratkan seni grafis.

Seni grafis sebagai salah satu medium seni rupa memang belum sepopuler seni lukis, patung, dan bahasa rupa lainnya. Bahkan seni grafis yang lebih dikenal dengan desain komunikasi visual baru terindentifikasi ketika bersinggungan dengan ranah pendidikan. Padahal seni grafis sudah dikenal di Indonesia sejak 1940-an.

Banyak hal yang membuat seni grafis sebagai bahasa rupa kurang memasyarakat. Namun, bukan berarti seni grafis tidak mempunyai nilai lebih dari genre seni rupa lainnya. Seni grafis sebagai media ungkap dengan kekuatan konsep didukung dengan penjelajahan kreativitas penekunnya bisa menghasilkan fine art.

Seni grafis dapat didefinisikan sebagai karya seni dua dimensi yang dihasilkan dari teknik cetak. Singkat padat dan jelas. Namun, untuk menjelaskan apa itu sebenarnya seni grafis akan sangat banyak hal yang bisa diketahui di dalamnya.

Dalam ranah pendidikan (institusi) seni, grafis digolongkan dalam seni rupa murni atau lebih tepatnya sebagai karya fine art karena seni grafis mampu menjadi ruang berekspresi bagi perupa menuangkan ekspresinya. Ada banyak teknik yang bisa digunakan perupa menuangkan ekspresinya melalui seni grafis seperti teknik cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar. Dalam perkembangannya, yang termutakhir adalah digital print.

Seni grafis memberikan ruang kebebasan berekspresi untuk para senimannya melalui tekniknya yang banyak dan beragam. Hal ini bisa dibuktikan untuk satu konsep kebentukan jika dituangkan melalui setiap teknik dalam seni grafis akan menghasilkan karya yang beragam.

Sejarah Singkat

Sekitar 200 Masehi, woodcut atau seni cukil kayu sudah digunakan menggandakan teks. Bahan pelajaran berupa teks untuk para pelajar China pada masa itu diukir pada batu dan dicetak pada kertas lembab yang menghasilkan karakter putih pada latar belakang hitam (block book printing).

Konon, cukil kayu yang pertama ditemukan di China muncul akibat perkembangan Budishme di negeri itu. Hasil cetakan tersebut berupa gulungan yang mengandung ajaran agama Buddha, dengan panjang sekitar 5 cm pada selembar sutra.

Saat itu tampilannya belum artistik karena dimaksudkan memang sebagai pedoman para biksu dalam penyebaran Buddha. Sedangkan di Negeri Matahari Terbit, seni grafis berkembang pada awal abad ke-18.

Salah satu bentuk seni grafis Jepang adalah Ukiyo-e yang berarti "gambar dari bumi yang mengapung". Saat itu tampilannya masih hitam-putih; hadir di masyarakat dalam bentuk kartu pos, dekorasi rumah, hingga atribut mode.

Perkembangan aplikasi grafis pada busana sangat berkaitan dengan perkembangan teater tradisional Jepang, Kabuki. Saat itu, aplikasi cetak Ukiyo-e yang terkenal dikerjakan oleh seniman Toshusai Sharaku (1790-95) pada sutra-sutra yang menjadi kostum para aktor Kabuki.

Pada perkembangannya pada abad ke-19, terjadi pergeseran minat utama seniman Jepang dari bentuk-bentuk figuratif menjadi objek-objek pemandangan, seperti yang dipopularkan oleh Hokusai dan Hiroshige. Karya-karya Hokusai terutama melukiskan perubahan musim; burung-burung, air terjun, obmak, serangga; pepohonan dan pegunungan. Karya-karyanya dibukukan dalam kumpulan sketsa Hokusai Manga (1814).

Karya-karya Hiroshige menekankan pada efek dan kontras warna. Karyanya yang terkenal adalah Tokaido Highway (1804) dan Sixty-nine Stations on The Kiso Highway. Kedua seniman ini menjadi menjadi catatan sejarah yang penting dalam perkembangan seni grafis modern.

Di Indonesia

Di Indonesia, seni grafis dikenal sejak masa perjuangan fisik. Media cukil kayu menjadi pilihan pertama memproduksi poster-poster perjuangan dan selebaran propaganda lain.

Ini dilakukan para seniman Indonesia seperti Affandi dan Abdulsalam. Mungkin masa itulah yang mengawali sedikit rentetan sejarah seni grafis yang telah mengalami proses yang panjang hingga sampai sekarang ini.

Memang teknik cukil kayu yang paling sederhana dibandingkan teknik-teknik cetak (seni grafis) yang lain. Material bakunya, bidang yang dicukil, mudah didapatkan misalnya papan kayu, hard board, multipleks, dan sejenisnya.

Alat-alat dan tinta cetak mudah didapatkan. Studio untuk mengerjakan tidak memerlukan ruang yang luas. Produk cetaknya tak kalah nilai dengan produk cetak yang menggunakan media lain maupun produk seni lukis.

Tetapi memang produk-produk seni grafis, khususnya cukil kayu, di Indonesia belum banyak dikenal. Belum memasyarakatnya seni cukil kayu di Indonesia tersebab banyak faktor antara lain; usianya yang relatif, masih muda, dan frekuensi pameran, workshop, dan demontrasi berkarya dalam seni cukil kayu relatif masih sangat jarang.

Kode Etik

Seni grafis bernapas dari kode etik yang dianutnya. Untuk tetap menjaga eklusivitas karya, seni grafis mempunyai kode etik yang harus dipatuhi perupa yang menggunakan medium grafis dalam mengekspresikan karyanya.

Kode edisi yang tertera kecil di sebelah kiri bawah karya grafis merupakan napas. Dengan kode edisi tersebut setiap cetakan yang terhasilkan dari klise akan mempunyai kekuatan menjadi karya tunggal di setiap ruang untuk mempresentasikannya seeing the unseen.

Seni grafis sebagai salah satu medium seni rupa menawarkan pada khalayak untuk melakukan eksplorasi baru sebagai media berekspresi.

Eksistensi seni grafis ke depan bisa makin mengemuka tergantung para penekun (perupa) mengeksplorasi dan mengomunikasikan kepada masyarakat. Jika potensi seni grafis dapat diaktualkan dan memberi kontribusi dalam panggung kehidupan, niscaya karya rupa grafis akan memasyarakat.

Semakin banyak garis yang tercipta akan menghasilkan banyak bentuk yang terlihat. Makin banyak orang berekspresi dengan bahasa rupa seni grafis, diharapkan seni ini makin dikenal dan memasyarakat. Ke depan, tersemai harapan seni grafis makin diapresiasi dan mengkhalayak. Semoga.

* Christian Heru Cahyo Saputro, fotografer dan pengamat seni rupa.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Desember 2008

No comments:

Post a Comment