December 23, 2008

Banjir, Bandar Lampung Menyusul Jakarta

Oleh Dewa Putu Adi Wibawa*

MASALAH lingkungan hidup selalu diidentifikasi sebagai low politics dalam terminologi ilmu politik. Tidak terlalu penting. Padahal kelangsungan nasib 6 miliar manusia penghuni bumi bergantung padanya.

Masalah lingkungan hidup bukan cuma soal pembuangan limbah yang seenaknya, kebakaran hutan, atau terus bertambahnya daftar spesies langka yang musnah. Sebagai isu sosial, lingkungan hidup mulai ramai dan santer diperbincangkan sekitar 1960-an di Barat. Di bawah bayang-bayang kian memanasnya Perang Dingin menyusul perlombaan senjata pemusnah masal oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat, menyebarlah kesadaran baru di kalangan sejumlah anak muda di Barat untuk kembali menjaga planet ini.

Buktinya, situasi belakangan yang terjadi di Bandar Lampung adalah salah satu problematika ekologis yang mesti diperhitungkan. Di mana pada tanggal 18 Desember curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi di Bandar Lampung, yang jadi salah satu penyebab banjir di beberapa titik.

Sejarahnya, banjir merupakan rutinitas tahunan yang terjadi di Bandar Lampung. Namun, peristiwa tahun ini di luar prediksi awam. Dipastikan, ini merupakan banjir terbesar sepanjang 17 tahun terakhir.

Pascamusibah, di sela-sela upaya rehabilitasi yang dilakukan, terdapat perdebatan melibatkan banyak kalangan, yang mengangkat satu tema besar yaitu pihak yang paling pantas bertanggung jawab (kambing hitam) atas peristiwa ini. Terdapat satu hal yang cukup kontroversial, ketika dalam suatu kesempatan Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno menyatakan warga adalah yang paling bersalah hinggga terjadinya peristiwa banjir tersebut. Pernyataan yang memiliki tendensi mengalihkan beban tanggung jawab pada pihak lain tersebut tentu saja dapat dikategorikan pernyataan yang dapat mengakibatkan distorsi pemahaman masyarakat terdapat persoalan yang terjadi.

Problematika banjir merupakan kompleksitas dari berbagai aspek: Sosial, ekonomi, politik, dan ekologis. Tentu pernyataan Wali Kota tidak mendapatkan tempat dalam argumentasi ini karena titik pandang parsial yang mendasari kesimpulannya.

Terbukti dengan menggunakan asumsi perilaku sosial masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan terakhir dinilai olehnya bertentangan dengan program ambisius Ayo Bersih-Bersih.

Padahal banjir yang terjadi di antaranya karena disfungsi kawasan konservasi. Data yang dilansir Lampung Post menyebutkan dari 16 bukit di Bandar Lampung, hanya tersisa dua yang keseimbangan ekosistemnya masih terjaga. Sehingga di satu kawasan warga secara langsung merasakannya dalam bentuk banjir lumpur.

Konversi lahan terjadi pada kawasan hulu yang kini berubah fungsi menjadi objek pariwisata. Kemudian tingkat sedimentasi yang tinggi yang menyebabkan penyempitan badan sungai hingga mencapai 30--50%. Dampak lainnya, pendangkalan sungai. Berikutnya yang tidak kalah vitalnya adalah sistem drainase yang dibangun oleh pemerintah banyak yang tidak berfungsi maksimal akibat putusnya akses saluran menuju jaringan drainase. Sehingga kondisi tersebut semakin memungkinkan Bandarlampung sebagai kota langganan banjir.

Eksploitasi Serakah Menjadi Penyebab?

Korelasi isu lingkungan dan politik di level lokal di Indonesia berwatak paradoksal. Sejak awal Indonesia berdiri, SDA sudah dibebat rapat-rapat oleh negara dan dijadikan miliknya. Dengan demikian, hak suku asli atas SDA otomatis hilang karena adanya penguasaan negara.

Ketika potensi lingkungan disadari bermanfaat sebagai sumber daya ekonomi, hak-hak suku asli dirampas oleh negara atas nama kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya untuk melapangkan jalan bagi eksploitasi sumber daya alam. Ini meupakan distorsi terhadap makna sejati yang diamanatkan oleh konstitusi, di mana kekayan alam sepenuhnya akan dikembalikan pada rakyat.

Distorsi terjadi adalah akibat moda ekonomi yang dominan kini merupakan perkembangan dari penetrasi kepentingan pemodal terhadap proses pengelolaan sumber-sumber produktif bangsa. Dan bukan sesuatu yang tabu untuk mengetahui bahwa watak moda ekonomi yang kapitalistik selalu akan mengedepankan akulumasi profit sebagai tujuan tertinggi, dan menegasikan aspek lain tanpa ampun. Ini merupakan prinsip dasar pemodal di mana pun di dunia ini.

Prinsip kapitalistik ini pula yang kemudian menuntun pada suatu kondisi di mana lingkungan yang menjadi tempat hidup berjuta spesies bukan milik siapa-siapa. Tapi manusia berkeras memiliki dan merusaknya. Ketika kita menyaksikan Discovery Channel atau Dunia Dalam Berita pernahkah terbayang bagi kita bahwa apa yang mereka tampilkan itu sebenarnya sama saja? Kedua merupakan belantara perebutan kekuasaan yang tak kenal batas.

Lantas kaitannya dengan Kota Bandar Lampung? Sudah jelas, berangkat dari kasus banjir, sekali lagi, penyebabnya buka semata kesalahan masyarakat akan teapi lebih signifikan lagi adalah akibat kerusakan perimbangan ekosistem. Dan kerusakan ekosistem tersebut bukan tanpa sebab karena kesadaran penuh manusia.

Liberalisasi pengelolaan sumber daya produktif di Bandar Lampung dilegitimasi dengan pemberlakuan perda adalah penyebabnya.

Dalam penyampaian sebelumnya, terdapat data jumlah bukit di Bandarlampung yang mengalami penggerusan, dan akivitas tersebut dilegalisasikan oleh Pemkot. Lalu ditambah dengan konversi kawasan konservasi di bagian hulu menjadi objek wisata. Hal-hal tersebut merupakan bukti konkret ketika pemerintah harus tunduk terhadap moda ekonomi yang dikendalikan oleh pemodal.

Beberapa tindakan pokok yang harus dilakukan Pemkot menangani banjir, pertama, perumusan TUTR harus mengakomodir kebutuhan proporsi perimbangan ekosistem. Kedua, mencabut seluruh perizinan yang melegalisasi segala bentuk eksploitasi ekologis, termasuk penggerusan bukit dan konversi lahan konservasi di hulu. Ketiga, merealisasikan pembangunan embung di beberapa kawasan, berikut merekonstruksi sistem drainase kota yang carut marut.

Itu hal-hal paling rasional yang dapat diterapkan ketimbang mendiskreditkan warga sebagai penyebab banjir. Atau, yang mendatang dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan demi kelestarian hidup seluruh makhluk adalah memotong logika "dengan modal sekecil-kecilnya dapat keuntungan sebesar-besarnya" dalam pengelolaan lingkungan dan SDA.

* Dewa Putu Adi Wibawa, Sekretaris Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Desember 2008

No comments:

Post a Comment