Oleh Christian Heru Cahyo Saputro*
JAGAT seni rupa Lampung memang tidak terkena imbas booming dan kebagian limpahan rezeki dari banjir duit di dunia seni rupa. Tetapi setidaknya belakangan ini dunia rupa Lampung mulai bergeliat dan dilirik. Dunia seni rupa Lampung, paling tidak di wilayah Sumatera, tak lagi dipandang sebelah mata.
Buktinya, dalam helat akbar jagat seni rupa Indonesia yang mengusung tajuk Manifesto ditaja di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta, penggal tahun 2008 lalu, dua pelukis Lampung terpilih meramaikan event bergengsi ini. Kemudian, pameran bertajuk me-Rupa-kan Ampas Kopi--yang menawarkan ampas kopi sebagai medium--juga mendapat respons positif baik dari media maupun wacana nasional. Jejak rekam kegiatan yang digelar masyarakat seni rupa Lampung, lembaga-lembaga seperti Dewan Kesenian, Taman Budaya plus stake holder meskipun belum memuaskan mulai tampak hasilnya.
Menurut kurator dan kritikus seni rupa almarhum Mamannoor, dunia rupa Lampung sangat potensial. Lampung kaya ragam rupa lokal yang bisa dijadikan ikon, salah satunya ragam hias tapis. "Mestinya perupa mau menyelami ragam budaya yang dimiliki Lampung untuk mewarnai karyanya dengan roh kelampungan," ujar Mamannoor pada sebuah diskusi di Bandar Lampung.
Memang setelah ada sentuhan dingin dari Kang Maman--begitu panggilan kurator jebolan FSRD ITB ini--dunia seni rupa Lampung mengalami kemajuan signifikan. Tak hanya dalam karya, juga dalam olah wacana. Selain gelar karya, diskusi, dan dialog pun jadi ajang mengolah rasa juga tempat menggodok berbagai gagasan.
Pelukis Jakarta asal Lampung Syahnagra Ismail juga mengungkapkan hal senada. Menurut pelukis yang sudah melanglang ke Benua Eropa ini, perkembangan seni rupa di Lampung tidak diimbangi infrastruktur pendukung antara lain gedung pameran yang representatif, sekolah tinggi kesenian, dan galeri.
Selain itu, menurut pelukis kelahiran Telukbetung ini, Lampung tidak memiliki tokoh seni rupa yang memiliki jejaring. Persoalan lainnya, Lampung juga tidak memiliki kritikus seni rupa yang mengangkat persoalan Lampung ke pentas nasional. "Ini mungkin salah satu yang membuat pelukis Lampung kurang fight berkompetisi dalam berkarya untuk menancapkan eksistensi dengan berpameran tunggal (Solo Exibition)," kata Syahnagra.
Sedangkan media yang diharapkan bisa mendongkrak dunia rupa belum sepenuhnya mendukung publikasi. Kuratorial di Lampung juga masih jadi persoalan. Jadi, kalau pameran punya konsep tak hanya sekadar ramai-ramai mengusung karya, meminjam kata Syahnagra.
'Manifesto' Perupa Lampung
Perhelatan terakbar jagat seni rupa Indonesia digelar. Pesta raya jagat seni rupa Lampung yang mengusung tajuk Manifesto ditaja dari 21 Mei--15 Juni 2008 di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta.
Pameran yang dimaklumatkan untuk memperingati dan merayakan Satu Abad Kebangkitan Nasional Indonesia sekaligus dalam rangkaian event World Culture Forum Indonesia 2008 ini diikuti perupa dari seantero Indonesia. Sekitar 350 karya rupa berupa lukisan, grafis, instalasi, fotografi, dan video art menyesaki ruang-ruang Galeri Nasional.
Yang membuat bangga dunia seni rupa Lampung, paling tidak dua perupa Lampung ambil bagian dalam pameran ini: Pulung Swandaru dan Subardjo.
Karya Pulung bertajuk Merahnya Merah Putih yang sarat pesan moral dan menggugah kesadaran masuk dalam bingkai karya seni dan moral. Lukisan dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 145 x 195 cm bertiti mangsa Maret 2006 ini menyodorkan gagasan dan spirit.
Pulung menarasikan konsep karyanya dalam bahasa rupa yang menggugah. Menurut Pulung, bumi pertiwi bernama Indonesia ini kaya raya dengan selaksa ragam potensi. Indonesia dihuni oleh bangsa besar dan konon dahulu disegani oleh bangsa lain. Namun, satu dasawarsa terakhir bangsa ini jatuh sakit, bahkan sebagian pemimpinnya menjadi pandir.
Bangsa ini perlu nutrisi yang mengenyangkan, menyehatkan dan mencerahkan. "Nutrisi itu adalah semangat untuk bangkit jiwa raga, bangkit rasio dan rasa akal budinya," papar Pulung.
Semangat Merahnya Merah Putih sebagai energi. Tidak lain, tegas Pulung, adalah sisi lain dari "kegunan", yaitu greget, gumregah memayu hayuning jagad--bumi pertiwi Indonesia.
Dalam ajang ini, Subardjo menyodorkan karyanya dalam bingkai narasi berjudul Potret. Dengan gaya realis, Subardjo memotret kegamangan bangsa Indonesia menghadapi persaingan dunia global. Indonesia dalam gagasan Subarjo diwakili sosok siswa sekolah yang terbingkai dalam kepungan siput.
Sementara itu, berbagai bingkai lainnya yang ada, berisi gambar-gambar dari dunia global yang hedonis. Perkembangan dunia informasi terus membombardir hingga bilik-bilik rumah lewat gelombang radio dan kotak ajaib bernama televisi.
"Kita baru sebatas penonton. Kita masih harus belajar banyak. Bangsa-bangsa lain sudah melesat untuk mengusai dunia, sedangkan kita masih tertatih beringsut bak siput," ujar Barjo menarasikan karyanya.
* Christian Heru Cahyo Saputro, Pengamat Seni Rupa
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Desember 2008
No comments:
Post a Comment