December 28, 2008

Apresiasi: Epik dan Lirik yang Panjang Umur

Oleh Asarpin*

SEBELUM Gema Secuil Batu terbit, pengalaman membaca puisi Iswadi selalu membawa saya ke gugus pertanyaan: Dengan apa Iswadi menulis puisi hingga terasa khidmat dan nikmat?

Biasanya saya akan menjawab agak ragu: Dengan seluruh tubuhnya. Ototnya menarik denyut pikiran, bulu pada dagingnya mengernyitkan denyar rasa yang menukik di kedalaman, otaknya bekerja merangsang bibir, gigi, lidah menggiring darah. Darah pada jantungnya memompa mesin perasaan, paru-parunya menapaskan atau mengembuskan. Maka jadilah puisi. Dan kena sentuh puisi Iswadi, maka bahasa membatu dan selanjutnya ia tamat sebagai bahasa; ia menjelma sajak.

Karena hampir semua ritme sajak liris terbentuk oleh kerja menghela napas dan mengembuskannya, seperti pendirian klasik Whitmen juga diakui Octavio Paz, maka hampir tak ada kata yang tepat untuk melukiskan makna sebuah sajak. Tapi izinkan aku mengutip sebuah frase dari kalif keempat kita dalam buku terjemahan Nahzul Balaghah: Kerja menghela napas dan mengeluarkannya, bisa menghasilkan embusan-embusan spiritual, atau ahwal, yang sesungguhnya berasal dari yang Maha Tanpa Muasal. Di sinilah "Sang Maha Tanpa Muasal memasukkan embusan-embusan di hatimu tanpa kau sadari".

Puisi Iswadi, sebagai objek yang tersusun dari dan oleh kata-kata, memang tak gampang diberi label ini dan itu. Kata-katanya mengalir-masuk perlahan menukik dinding keharusan, seperti tetes hujan melubangi batu. Karena itu, atau karena salah satu tabiatnya itu, objek-objek (yang) tersembunyi atau terangkat ke permukaan sajaknya, justru tak tergapai pembaca. Lebih lagi jika pembaca seperti saya tidak akrab dengan metafor puitis Iswadi, yang hemat saya cenderung ekuivalen dengan yang lain.

Kefasihan mengungkapkan kehendak yang sederhana, remeh, yang kadang jelas kadang gelap, dengan lentik-lentik lirik yang menimbulkan epik, agaknya perlu mendapat perhatian sedikit di sini. Zaman epik yang dianggap telah berlalu ternyata masih hidup; mungkin tidak akan pernah berakhir. Walau perkembangan puisi kini nyaris sampai pada titik akhir sebagai alat menulis drama dan novel, epik tetap berada dalam pesona. Bisa jadi "warna" epik merupakan transmutasi atau patahan dari konvensi dramaturgi yang melahirkan sesuatu yang baru tapi bukan baru, bukan baru tapi juga baru. Bila biografi Iswadi kita sertakan di sini, tidak mustahil konvensi dramaturgi yang selama ini ia geluti juga bagian dari upaya menguatkan kematangan aku lirik dan epik.

Membaca kecenderungan wawasan puitik Iswadi memang harus bingung, kalau tidak bukan lirik dan epik namanya. Kebingungan itu bisa memuncak bila saja kita telusuri lebih menukik di dasar lirik epik yang apik.

Setidaknya, tak kurang dari tiga buah puisi setengah lirik setengah epik dalam Gema Secuil Batu: Fragmen Pertempuran, Fragmen Tanjungkarang, Dongeng Pepohonan. Ketiga sajak ini terasa membangkitkan kembali semesta gema dan analogi. Lirik dan epik adalah--sambil mengutip Karlina Leksono dalam konteks lain--"tradisi kuna yang panjang umur".

Iswadi bekerja lewat proses transmutasi menjadi transformasi: Antara sajak liris dan mitos akhirnya menghasilkan gaya epik. "Sudah mafhum jika puisi epik bersandar pada dinding mitos--atau sesuatu yang dimitoskan atau seolah-olah mite--sebagai bahan mentahnya", tulis Octavio Paz suatu kali.

Metamorfosa epik menjadi novel selama ini terjadi karena kemunduran relatif mitos di tangan sejumlah penyair modern di Barat. Sementara di Timur, sejumlah mitos terdesak pula oleh utopi politik sekaligus utopi erotik.

Mitos memiliki kedekatan dengan puisi liris dan filsafat. Dalam puisi liris, kedekatan itu terdapat dalam fungsi minimalis dari kata. Dalam filsafat, yaitu koinsidensi dengan gagasan semesta.

Dalam Gema Secuil Batu, ekuivalensi antara puisi lirik dan mitos menghasilkan epik pranovel yang tak mudah dibentang-pisahkan sebagaimana membentangkan waktu kronometris dan episode dalam epik yang telah jadi novel sekarang. Epik pranovel pradrama dekat dengan mitos; dan adalah mitos itu sendiri sekaligus puisi liris itu sendiri.

Proses yang unik ini sesuai dengan kelahiran tradisi epik sebagai bentuk-tengah atau bentuk-antara: Sejarahnya adalah tersingkapnya ruang antara sajak liris dan mitos, yang melahirkan sajak epik. Ruang interior atau lawa yang melahirkan puisi epik itulah yang kini tak lagi banyak digeluti oleh penyair.

Kehadiran lirik menjadi epik dalam Gema Secuil Batu bisa dinikmati melalui sekian banyak tema yang jadi kebutuhan eksistensial lirik dan epik. Pemaparan epik dalam puisinya tidak terlampau ketat. Alurnya buntung, tidak lengkap, tidak ada tahap-tahap atau episode-episode dan penokohan yang spektakuler.

Namun ada beberapa bentuk cerita dengan adegan-adegan yang seru nan syahdu, nenes, dan cengeng, dialog-dialog batin dalam ragam bentuk, deskripsi-ilustrasi dan musikalisasi, amanat, dan sublimitas yang sederhana, cukup kena, dan menggugah saya.

Semua ciri epik sebelum jadi novel dan drama begitu tipis jaraknya dengan lirik sehingga sulit sekali membedakan keduanya dengan tegas, sebagaimana halnya membedakan antara kata dan imaji dalam puisi Iswadi. Sublimitas "peristiwa" sering (hanya) dikonstruksi dengan sederhana, kadang dengan memasukkan tema sepele dan jauh dari tragedi dan kemabukan, apalagi histeria.

Kata hampir semuanya sunyi, bisu. Sikap kepenyairan yang jelas-jelas "fanatisme pada puisi" yang terungkap lewat frase "betapa nikmat hati yang tak bisa pasti" sebagai lawan dari ilmu pasti. Kata dan kalimat tersusun bagai tenun hening jiwa sebagai lawan tenung yang memaksa waktu.

Memang terdapat beberapa sajak yang membahana, hendak bermantra, tetapi tekanan bahana akhirnya jadi gema di ujung, dan terus masuk dalam bisik lirih seumpama subuh, kadang seperti asap yang senyap, bukan awan yang bergelombang, hingga melahirkan matra kewaktuan dan bukan matra keruangan.

Ketika komunikasi lewat kata telah diperalat sedemikian rupa, maka "gramatika secuil batu" bisa menjadi media yang tangkas untuk berkomunikasi dalam puisi. Ketika ada sesuatu yang dirasa mengganggu, maka batu adalah arsenal yang ampuh di tangan penyair.

***

Ada beberapa penyair yang juga menerbitkan buku puisi dengan judul batu. Sitor Situmorang dan Radhar Panca Dahana adalah dua nama yang dekat dengan gramatika kebatuan alias kebisuan.

Saya ingin menggunakan kembali kutipan saya atas telisik puisi Biografi Kehilangan Dina Oktaviani dalam membaca gramatika puisi Iswadi--yang keduanya memang bagaikan suami-istri yang serasi dan sama-sama "anak spiritual Goenawan".

Melanggar sedikit gramatika tak mengapa, asal seperti Iswadi yang berhasil mengkrital pengalaman komunikasi yang tidak melantangkan suara, tetapi kediam-dirian yang hening. Puisi-puisinya ibarat seutas tali kebisuan, di mana gema bahasa hanyalah simpul-simpulnya. Artinya: Bunyi bukan yang utama.

Komunikasi dalam puisi tak cuma dengan bersuara. Seperti bunyi frase puitik Ivan Illich--dalam terjemahan yang kena oleh Goenawan Mohamad--komunikasi dengan kebisuan adalah kefasihan dari diam.

Kalau betul bahwa kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, begitu kata Illich, maka yang terdengar elok-laku-nian bukan bunyi atau suara, melainkan keheningan akan proses batin si pembuat kata itu. Berkomunikasi dengan diam, karena itu, menyuguhkan keintiman reflektif yang terasa lebih intens dan intim ketimbang dengan bersuara.

Sudah jelas dalam puisi ada bunyi dan sunyi, bahana dan diam, tetapi yang dominan dalam puisi Iswadi jelas bukan bahana, bukan bunyi, melainkan sunyi dan diam. Kalaupun masih terdengar bunyi, maka seturut dengan Iswadi, itulah bunyi suci (wingit).

Ada beberapa saja puisi yang melantunkan bunyi i di tengah dan di ujung baris, selebihnya bunyi a komposisi gerak-diam. Batu diam. Waktu membisu. Secuil batu yang bisu adalah material yang mengkristal. Batu pualam menjadi batu kaca. Batu tidak semua seperti hazar aswad karena ada batu damar yang berkilau bagai Acer Crystal di komputer tempatku mengetik telisik ini.

Batu adalah bagian dari laku kediamdirian yang membatu. Batu yang tergeletak di sudut jalan, di tepi kali, di sungai dan pegunungan, sebagai material intim dalam Gema Secuil Batu.

Dengan batu, membatu, makna dan arti pun seperti udang di balik batu. Kadang bukan arti dan makna yang hadir, apalagi makna konotatif, melainkan cukup nikmati saja karena memang nikmat membacanya (di antara sajak nikmat membacanya adalah Seorang Sahabat, Selalu Kukatakan Padamu, Memandang, dan Asmara). Metafor-metafor mungil dan sepele mengandung isyarat pekat-kental.

* Asarpin, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2008

No comments:

Post a Comment