Oleh Ni’matus Shaumi
IA kini jadi salah satu penyair muda Lampung yang cukup disegani. Kecintaan Fitri Yani kepada puisi membuatnya berkomitmen akan terus berkarya sampai kapan pun. Karena baginya hidup dengan kesenian adalah hidup yang artistik.
Fitri Yani (Teknokra)
Perkenalannya dengan puisi dan sastra dimulai sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kala itu ia suka membaca pantun dan puisi yang ada dibuku- buku pelajaran Bahasa Indonesia. Sejak itu ia mulai tertarik dengan puisi dan sastra. Fitri mulai suka menulis puisi. Apalagi guru Bahasa Indonesianya kerap memberi tugas untuk membuat puisi dan mengarang. Puisi-puisinya pun sering menghiasi majalah dinding sekolahnya.
Hobi dan bakatnya terus berlanjut menginjak Sekolah Menengah Atas (SMA). Eksistensinya didunia sastra mulai dibuktikan saat ia berkesempatan mengikuti Bengkel Sastra siswa SMA Se-Bandar Lampung. Ia mendapat Juara II Penulisan Puisi. Mulai saat itu ia sering pula diminta teman-temannya membuatkan puisi khusus untuk mereka.
Ia selalu meluangkan waktunya ke perpustakaan sekolah untuk membaca majalah sastra Horizon atau buku-buku kumpulan puisi. ”Banyak puisi-puisi tidak saya mengerti karena bahasanya penuh dengan metafor,” kenangnya. Ia pun mulai membedah puisi-puisi karya penyair legendaris macam Chairil Anwar, ”saya suka puisinya yang judulnya Senja di Pelabuhan Kecil dan Doa. Saya juga kagum karya Willibrordus Surendra Broto Rendra atau WS.Rendra, puisi-puisi sosialnya menginspirasi diri,” ujarnya puitis.
Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKM BS Unila) menjadi pilihan menyalurkan hobi menulisnya saat kuliah. Ia memilih Divisi Teater dan Sastra. Iklim sastra di UKM BS tentu sangat mendukungnya belajar bagaimana menulis puisi yang baik. Ia semakin mencintai puisi, sastra, belajar menurunkan ego dan kerja sama, dan Sejak itu itulah ia bertekad tidak akan meninggalkan UKM BS apapun yang terjadi.
Banyak belajar dari senior
Eksistensinya terus diasah sampai saat ini dengan menjabat sebagai Ketua Bidang Program periode 2008-2009. Hal itu membuatnya harus pandai-pandai membagi waktu. Selain puisi, Fitri juga menyukai dunia teater. Berteater membuatnya mendapat hal-hal baru, membuatnya lebih percaya diri dan disiplin. Teater juga memengaruhinya dalam menulis. ”Walaupun capek latihan sampai jam 11 malam dan mengorbankan banyak hal tetapi ada rasa puas dan bangga,” ungkapnya seraya tersenyum.
Gadis berperawakan sedang, berkulit putih bersih, rambut lurus sebahu dan bola mata hitamnya yang tajam, ditambah dengan bentuk bibir yang sedikit lebar ini selalu ingin terus dikritik kepada siapa saja yang membaca karyanya. Senior-seniornya seperti Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian dan Lupita Lukman adalah orang-orang yang sangat memotivasi dirinya. Mereka tempatnya belajar.
Proses belajarnya tidaklah mudah. Suatu saat sepuluh puisi yang ditulis Fitri dicoret-coret seniornya. ”Apa ini! Ini bukan puisi! Menulis lagilah kamu sampai tulisanmu baik,” ujarnya menirukan kata seniornya. Itu tidak membuatnya patah arang, justru lebih semangat. Menurut Fitri, secara konvensional puisi yang dianggap baik adalah tidak terlalu dibebani pesan atau pikiran si penyair. ”Bang Ari pernah berkata kepada saya, untuk menjadi orang yang luar biasa kau harus menempuh jalan yang tak biasa pula.” Jalan tersebut menurut Ari mungkin amat jarang dilalui orang, jalan sunyi yang sarat harapan dan kenangan.
Proses dan hasil
Banyak hal dapat mempengaruhi seseorang menulis puisi, misalnya: mendengar musik-musik yang jarang didengar, membaca buku-buku sastra, membaca buku fiksi dan non fiksi. Seorang penyair harus memiliki pengetahuan serta wawasan yang luas. Puisi merupakan tulisan yang ilmiah dan nalar secara logika, karena penyair harus dapat mempertanggung jawabkan karya-karyanya kepada pembaca. Fitri mengatakan untuk menulis puisi haruslah penuh dengan imajinasi, pembaca yang kemudian menikmati dan memaknai.
Sudah ratusan puisi yang ditulisnya. Namun, ia mengaku jarang mengirim puisinya untuk dilombakan. ”Saya berpuisi untuk berkarya agar mencapai kesempurnaan,” akunya. Bagi sulung dari lima bersaudara pasangan Bapak Kalvin dan Ibu Tamimah ini, dengan menulis, memori yang tersimpan dapat dituangkan, sehingga banyak hal yang kemudian datang dan mengisi lagi ruang memori untuk kemudian dituliskan kembali. Menulis adalah perjalanan yang dinamis. Pengalaman yang berulang memang bisa berubah-ubah kategori pemaknaannya. Inilah keasyikannya bisa memahami setiap kejadian dalam perjalanan hidup. Menulis juga dapat membuat peka dengan hal-hal diluar diri sehingga karya bisa kita bagi dengan orang lain.
Tema puisinya bisa apa saja. Apa yang sedang dirasakannya, ya ditulisnya. Ia terus menjaga produktifitasnya sebagai penyair muda dengan terus menulis. Ia selalu belajar membagi waktu antara kuliah, menulis puisi, dan menghapal naskah drama. Harus ada energi lebih agar konsentrasi tidak pecah, ”aku kalo gak nulis selalu ngerasa gelisah,” ungkapnya. Ia juga kadang membutuhkan waktu refresh untuk mencari inspirasi baru.
Fitri paling tidak suka tidak melakukan apa-apa. ”Tiga hari saja tidak menulis, saya selalu bertanya-tanya ada apa dengan diri saya?” Kalau sudah seperti itu, ia merasa harus ada yang berubah dan mencoba bangkit. Setiap hari ia mencoba berpikir positif, ”aku harus terus mengosongkan gelas yang sudah penuh, untuk aku isi lagi dengan mengasah kemampuan,” kata Fitri filosofis.
Ia mencoba fokus dan total pada apa yang sedang dijalaninya. Ia menghindari malas dan ketergantungan pada rasa malas. Menulis merupakan proses yang cukup menyita pikirannya, dari menentukan tema, memeriksa dan meninjau kembali sudut pandang kesesuaian hasil editing dan garis besar puisi.
Kegigihan prosesnya tersebut tentu menuai hasil. Salah satunya, puisinya masuk dalam Kampung Dalam Diri, Antologi Puisi Temu Penyair Lima Kota (Payakumbuh, 2008). Selain itu teater yang pernah dipentaskannya antara lain Ipoh karya Athur S. Nolan, Titit karya Putu Wijaya, dan Mak Comblang karya Nocolai Gogol. Bahkan, saat ini naskah teaternya yang ditulis Fitri bersama dua temannya di UKM BS berjudul ”Suara-suara Dari Balik Jendela” dalam proses penggarapan. Rencananya karya tersebut akan diikutkan dalam Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO) di Bandung. Karya-karya Fitri dimuat media daerah dan nasional seperti Lampung Post, Kompas, Majalah Gong.
Menulis baginya jelas berbeda dengan teater. Alasannya, teater ada sutradara yang bertanggungjawab dalam mengatur latihan, sedangkan ketika menulis Fitri merasa harus bergelut dengan dirinya sendiri. Bagaimana tulisannya tidak hanya sebagai seni tetapi juga menjadi sastra ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
...
begitulah aku,
melewati langit
tiap pintu waktu berderit
...
Pelampung Keramba
Fitriyani, 2007
BIODATA
Nama lengkap: Fitri Yani
Nama panggilan: Fitri
Tempat/tanggal lahir: Liwa, Lampung Barat, 28 Februari 1986
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Sebarus Liwa
- SLTP 1 Negeri Liwa
- SMU Negeri 8 Bandar Lampung
- FKIP PPKN Universitas Lampung
Organisasi:
- Anggota Divisi Teater dan Sastra UKMBS
- Kepala Divisi Teater dan Sastra UKMBS
- Kepala Program UKMBS
Karya
- Karya puisi dimuat pada harian umum Lampung Post, Majalah Gong, Kompas, serta terdapat dalam Kampung dalam Diri, Antologi Puisi Temu Penyair Lima Kota (Payakumbuh, 2008)”.
- Menulis skenario drama yang diadakan FESTAMASIO berjudul ”Suara – Suara dari Balik Jendela” bersama kedua temannya.
Sumber: teknokraunila.com, Sabtu, 15 November 2008
No comments:
Post a Comment