BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hutan mangrove di Provinsi Lampung yang tersebar di Teluk Lampung, pantai timur, pantai barat, dan Teluk Semangka hanya tersisa tidak lebih 20 persen.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Divisi Publikasi dan Kampanye Mitra Bentala Suprianto dalam konferensi pers, Jumat (12-12). Perincian hutan bakau yang tersisa meliputi Teluk Lampung (10 persen), Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus (20 persen) dan pantai timur (15 persen), dan pantai barat (15 persen).
Hutan mangrove di Teluk Lampung meliputi Lampung Selatan, Bandar Lampung, dan Pesawaran. Sedangkan hutan bakau di pantai timur meliputi Bakauheni, Ketapang, Labuhan Maringgai, Braja Sakti, Tanjung Endang, dan Tanjung Kenam. Hutan mangrove di pantai barat meliputi Way Batang, Way Jambu, Belimbing, Bandar Dalam, Pulau Pisang, dan Way Tembuluh. Luas hutan mangrove di Lampung hanya 1.460 hektar.
Menurut Suprianto, penyebab utama rusaknya hutan mangrove adalah pengalihan hutan menjadi tambak, baik tambak intensif, semiintensif, dan tradisional. Luas tambak udang di Lampung telah mencapai 62.100 hektare.
Penyebab lain adalah limbah industri skala besar, penebangan dan penjualan pohon bakau, serta pengambilan cacing dari pohon bakau untuk pakan udang. Pembangunan kawasan pariwisata juga menjadi menyebabkan rusaknya hutan mangrove.
Suprianto mengatakan konversi hutan mangrove menjadi tambak dikarenakan tidak ada harmonisasi kebijakan lintas sektoral antara Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Badan Pertanahan. Suprianto mencontohkan kasus pembukaan tambak di hutan lindung register satu Way Pisang Lampung Selatan. Masyarakat membuka tambak di daerah tersebut karena sudah mendapatkan sertifikat dari BPN. Daerah tersebut merupakan kawasan hutan lindung, tapi BPN mengeluarkan sertifikat tanah untuk kawasan tersebut. "Tidak adanya harmonisasi kebijakan menyebabkan timbulnya peluang kerusakan sumber daya alam," ujar dia.
Kerusakan Lingkungan
Rusaknya hutan mangrove, kata Suprianto, dapat menyebabkan hilangnya sabuk hijau atau green belt, hilangnya biota laut, abrasi dan intrusi pantai, kesulitan air bersih, serta ancaman penyakit malaria. "Hutan Bakau merupakan sarang nyamuk malaria. Hilangnya pohon bakau menyebabkan nyamuk malaria menyerah daerah permukiman," kata Suprianto.
Suprianto menambahkan masyarakat pesisir banyak yang belum memahami
manfaat dan fungsi pohon bakau. Masyarakat hanya tahu pohon bakau tumbuh di pesisir. Rendahnya pemahaman masyarakat akan fungsi bakau mambuat pemulihan hutan mangrove tidak berjalan.
Di sisi lain, Suprianto juga menegaskan pembukaan tambak di lahan mangrove tidak menguntungkan secara ekonomi. Dia mencontohkan hutan mangrove di Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, sudah banyak yang dialihfungsikan menjadi tambak. Luas tambak di daerah tersebut telah mencapai 100 hektare. Sementara yang terdaftar hanya 50 hektare. Pendapatan asli daerah (PAD) dari tambak hanya Rp50 juta per tahun. "PAD yang dihasilkan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan," kata Suprianto. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Desember 2008
No comments:
Post a Comment