Oleh Suprianto*
BANJIR yang melanda Bandar Lampung, 18 Desember 2008, pukul 15.00--20.00, merupakan banjir terbesar dalam sejarah Lampung sejak 25 tahun terakhir. Setidaknya analisis bencana ini telah disampaikan Walhi Lampung dari 10 tahun lalu pada tiap kesempatan. Ini merupakan kampanye utama Walhi: Mengajak seluruh elemen/komponen masyarakat menjaga dan mengamankan sumber daya alam.
SDA merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nirhayati (abiotik), mutlak dibutuhkan manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nirhayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk sistem, yang dikenal dengan ekosistem.
Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen dalam sistem tersebut, dapat mempengaruhi keseluruhan sistem baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun keseimbangan.
Banjir dan longsor yang terjadi di Bandar Lampung mengambarkan adanya perubahan, yaitu kerusakan salah satu unsur yang berkaitan dalam ekosistem tersebut. Dalam catatan Walhi dan berdasarkan fakta lapangan, banjir bandang yang terjadi hampir di seluruh kecamatan di Bandar Lampung itu disebabkan dua faktor.
Satu, berkurangnya kawasan resapan air. Bandar Lampung merupakan salah satu muara dari kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki SDA dan berfungsi sebagai kawasan ekosistem penyangga seperti Tanggamus, Pesawaran, dan Lampung Barat. Kerusakan sumber daya hutan di beberapa kabupaten hulu tentunya memiliki dampak dan pengaruh terhadap ekosistem itu sendiri. Artinya, daya dukung lingkungan hidup Bandar Lampung juga sangat erat dengan kerusakan hutan di provinsi ini.
Untuk konteks Bandar Lampung, Walhi memberikan catatan dan fakta telah terjadi penyimpangan/perubahan terhadap salah satu komponen ekosistem. Yang pertama, pemenuhan 30% untuk kawasan terbuka hijau dalam rencana tataruang wilayah di Kota Bandar Lampung ini tidak terpenuhi.
Kedua, faktanya wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan resapan air dan hutan kota saat ini berubah fungsi. Dari 12 kawasan resapan air, paru-paru kota, dan hutan kota, hanya tiga wilayah/kawasan resapan air yang kondisinya masih hijau/baik: Gunung Sulah, Gunung Banten, dan Gunung Kucing. Sembilan kawasan konservasi seperti Gunung Kunyit, Gunung Sari, Gunung Perahu, Bukit Sukamenanti, Bukit Kultum, Bukit Randu, Bukit Kapuk, Lereng Rasuna, dan Bukit Camang semua kondisinya berubah fungsi menjadi kawasan permukiman, hotel/restoran, dan penambangan.
Banjir yang terjadi di Bandar Lampung ini akibat akumulasi kebijakan Pemkot yang tidak prosedural. Sampai saat ini pun masih diberikan izin pada swasta yang ingin mengeksploitasi wilayah-wilayah konservasi. Wilayah lain di Bandar Lampung yang merupakan penyangga hulu kota adalah Kecamatan Kemiling. Saat ini di wilayah tersebut juga telah terbuka untuk pembangunan perumahan dan pembangunan ruko-ruko yang juga tidak terkendali.
Hilangnya kawasan resapan air berakibat pada menurunnya daya dukung lingkungan dan lahan sehingga ekosistem yang berkaitan satu dan yang lainnya tersebut terganggu dan tidak akan berfungsi secara baik. Hal itulah yang kemudian menyebabkan banjir dan longsor di beberapa titik di Bandar Lampung.
Dua, distribusi, pengaturan serta pengawasan sampah rumah tangga khususnya di bantaran sungai tidak dilakukan dengan baik. Catatan dan faktanya, program Ayo Bersih-Bersih yang digalakkan Pemkot juga tidak disertai dengan implementasi program dan model pendekatan yang menitikberatkan pada pola-pola penyadaran masyarakat, hanya seremonial. Meski program ini telah dilaksanakan beberapa tahun terakhir, indikator keberhasilannya pun belum terlihat.
Kurang baiknya sistem drainase tidak bisa dijadikan justifikasi untuk ikut menjadi penyebab utama banjir di kota ini. Jika ekosistem SDA seimbang, unsur-unsur ekosistem tersebut akan dapat memberikan fungsi dengan baik. Jika distribusi, pengaturan, dan pengawasan sampah rumah tangga di Bandar Lampung dilakukan dengan baik, tidak akan pernah ada sampah di bantaran sungai.
Analogi sederhananya, setiap tahun kita pasti melewati musih kemarau dan musim hujan. Mengapa banjir besar di Bandar lampung tidak terjadi sepuluh tahun lalu, baru saat ini banjir besar. Ini dapat disimpulkan bahwa dua hal di atas dapat dijadikan justifikasi penyebab banjir di Bandar Lampung beberapa waktu lalu.
Saat ini paling tidak kita telah diberikan kesadaran baru dari bencana yang kita alami untuk bersama-sama menuntut hak dan memberikan fungsi kontrol terhadap proses-proses pembangunan. Catatannya, ada beberapa hak dan sumber informasi yang mestinya menjadi referensi kita yang berkaitan dengan pemanfaatan SDA.
Undang-Undang No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem mengatur tentang definisi SDA hayati. Yang paling utama, pentingnya ekosistem dipertahankan dalam konteks keberlangsungan sumber-sumber daya alam hayati. UU ini lebih menekankan pada perlindungan seperti perlindungan sistem penyangga, aktivitas apa yang dilarang dan apa sanksinya. UU juga memberikan uraian tentang peran serta masyarakat dan kawasan pelestarian
Lalu, UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Materi. Yang diatur meliputi pembagian ruang dan aspek penataannya seperti kawasan pedesaan, perkotaan, kawasan lindung, dan kawasan budi daya. Artinya, ada dasar hukum (legal base) untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang antara kawasan lindung dan kawasan eksploitasi.
Kemudian, UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai UU yang meletakkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan LH, UU ini memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup. Ada 5 hal penting dalam UU ini yang dapat mendukung pelestarian fungsi lingkungan, pertama, Pasal 5 yang mengatur hak, kewajiban, dan peran masyarakat. Yang menekankan setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan yang baik dan sehat serta tiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup.
Kedua, setiap perizinan harus memperhatikan rencana tata ruang dan pendapat masyarakat. Keputusan mengenai perizinan wajib diumumkan (Pasal 19).
Pasal 19 menekankan keterbukaan informasi dan menempatkan aspirasi sebagai salah satu indikator penting ketika proses perizinan diberikan.
Ketiga, Pasal 35 menerapkan asas tanggung jawab mutlak, yaitu kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Walaupun dibatasi untuk aktivitas yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
Keempat, Pasal 37 Ayat (1) memberikan hak bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan (class action) ke pengadilan.
Kelima, Pasal 37 Ayat (2) juga memberikan dasar hukum bagi organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. n
* Suprianto, Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Desember 2008
No comments:
Post a Comment