Oleh Febrie Hastiyanto*
MEMBACA artikel Feodalisme Modern di Lampung yang ditulis Udo Z. Karzi membuat saya gelisah. Udo seperti biasa menulis dengan tajam, berisi, dan ini yang paling menggetarkan: to the point alias "tunjuk hidung".
Mencermati dua peristiwa pemberian adok yakni Begawi Adat Mewaghi di Gunungsugih dan dan penyerahan gelar adat oleh Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) kepada Gubernur dan Ketua DPRD Lampung di Mahan Agung yang kemudian bersambut polemik, antara lain dari Ketua Dewan Perwakilan Penyimbang Adat Lampung (DPPAL) Maulana Raja Niti, aktivis Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Lampung Barat (IKPM Lambar) Novan Saliwa, sai batin dari Talangpadang Irfan Anshory, dan Udo Z. Karzi sendiri pada dasarnya sedang mendiskusikan bagaimana sistem dan nilai adat Lampung diaktualisasikan.
Aktualisasi sistem dan nilai adat ini memerlukan format atau bentuk yang celakanya tak bebas nilai dari kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi.
Aktualisasi untuk Rakyat
Gagasan aktualisasi atau lebih banyak orang menyebut sebagai revitalisasi sistem dan nilai adat memang sedang in pada banyak masyarakat kebudayaan di Tanah Air, termasuk inisiasi yang didorong pemerintah. Motifnya beragam. Pemerintah, misalnya, umumnya memandang budaya paralel dengan pariwisata.
Event-event kebudayaan yang digelar dan disponsori pemerintah tak jauh-jauh dari motif pariwisata, menggairahkan perekonomian lokal, dan syukur-syukur beroleh retribusi untuk menggelembungkan pendapatan asli daerah (PAD). Logika ini linear secara struktural ketika Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata diampu oleh Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
Mengaktualisasikan sistem dan nilai adat di era global seperti saat ini perlu dilakukan secara hati-hati. Di Jawa, misalnya, hingga kini terdapat banyak kraton sejak dari Banten, Cirebon (Kanoman, Kasepuhan, Kacerbonan), Yogyakarta (Kasultanan, Pakualaman) dan Surakarta (Kasunanan, Mangkunegaran) sebagai pemangku adat setelah kerajaan-kerajaan tersebut dilikuidasi. Semangat mengaktualkan sistem dan nilai adat juga tumbuh di komunitas-komunitas ini.
Pemberian adok seperti halnya di Lampung sudah lebih dulu dilakukan Susuhunan Pakubuwono, Raja Solo sejak Pakubuwono XII yang dilanjutkan anaknya Pakubuwono XIII. Meskipun dikritik banyak pihak, setiap ulang tahun penobatan (tingalan jumenengan) Sunan menganugerahkan gelar kepada tokoh, pejabat hingga artis yang dianggap berjasa dalam melestarikan budaya Jawa dan budaya Indonesia.
Tanpa kebijakan ini, rasanya artis Julia Perez tak mungkin akan menerima gelar Nimas Ayu Tumenggung Yuli Rachmawati. Sekadar diketahui, gelar tumenggung selevel dengan jabatan bupati atau senopati perang pada masa Majapahit hingga Mataram. Tak hanya gelar setara bupati, banyak tokoh juga memperoleh gelar pangeran, gelar yang diberikan bagi anak raja, yang pada masanya tak semua anak raja mendapat gelar pangeran.
Memberi penghormatan kepada tokoh yang berjasa bagi pengembangan budaya tentu tak salah, tapi bila kesannya diobral, suatu saat nanti pemberian adok di Lampung bukan tak mungkin diberikan pada artis seperti Julia Perez yang mungkin baru satu kali pula menjejak kaki di kraton saat wisuda jumenengan.
Selain menyelenggarakan event budaya, kraton juga aktif menginventarisasi aset-aset ekonomi utamanya tanah yang tersebar di bekas wilayahnya dulu. Pura Pakualaman dan Kasunanan Surakarta saat ini mulai mendata tanah-tanah magersari di bekas wilayahnya yang kini termasuk wilayah Bantul dan Kulon Progo maupun kawasan Baluwarti Surakarta. Soal aset ekonomi yang diklaim sebagai “hak tradisional” raja dan sultan ini juga menjadi salah satu butir dalam petisi Maklumat Keraton se-Nusantara yang ditandatangani 34 raja, sultan, dan bangsawan pada Festival Keraton Nusantara III di Tenggarong tahun 2002.
Aktualisasi sistem dan nilai adat yang kemudian diformulasikan sebagai aktualisasi “hak tradisional” raja dan sultan perlu didudukkan dalam kerangka kebangsaan dan adat itu sendiri. Saat ini secara de facto dan de jure, kraton-kraton-- termasuk di Jawa yang dahulunya jelas-jelas "negara"-- telah bergeser maknanya menjadi kerabat kraton. Kraton-kraton secara efektif tak lagi memiliki rakyat, juga ditinjau secara de facto dan de jure. “Rakyat” yang masih setia mengikuti tradisi dan upacara-upacara yang diselenggarakan kraton hampir kesemuanya adalah abdi dalem. Abdi dalem saat ini kira-kira sama maknanya dengan pegawai negeri sipil, yang hanya sepersekian persen dari total rakyat.
Kondisi ini bukan tak mungkin terjadi dan menggambarkan realitas “masyarakat adat Lampung”. Oleh sebab perubahan sosial, bukan tak mungkin “masyarakat adat Lampung” saat ini menyempit maknanya menjadi penyimbang dan kerabatnya. Bila saat ini belum, bukan tak mungkin realitasi ini kelak terjadi.
Jadi pertanyaannya, untuk siapa aktualisasi sistem, nilai, dan "hak tradisional" kraton (dan "masyarakat adat") ini sesungguhnya? Benarkah untuk kraton (dan atau adat)? Atau untuk kerabat kraton (baca: penyimbang)? Atau untuk kerabat kraton dan abdi dalem (baca: penyimbang dan kerabat)?
Aktualisasi sistem dan nilai adat juga merecoki sistem politik lokal kita. Isu putera daerah menguat yang oleh seorang budayawan Riau justru dianggap memundurkan pembangunan Riau ketika pemimpin dipilih berdasarkan nasabnya, bukan kapabilitasnya. Di Kutai, Syaukani H.R., sang bupati membangun kembali Istana Kutai Kartanegara di atas tanah seluas 3.500 meter persegi yang menghabiskan duit rakyat dari APBD Kutai sebesar Rp6 miliar dalam kurs dan tingkat inflasi tahun 2002. Istana ini ditinggali Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II dan keluarga.
Begitu juga di Lampung, pertanyaan-pertanyaan besar kita, antara lain bagaimana dan untuk siapa sistem dan nilai adat ini diaktulisasikan? Apakah sistem dan nilai adat serta merta relevan dan kesemuanya perlu diaktualisasikan saat ini? Ketika orang bicara kompetensi dan kapabilitas, apakah kita masih "memerlukan" adok dalam bersaing di era kapitalisme-lanjut hari ini? Benarkah pemberian adok relevan dengan cita "melestarikan adat Lampung"? Apakah "melestarikan budaya" identik dengan upacara dan seremoni?
Dan, tampaknya yang paling penting diaktualisasikan adalah bagaimana caranya agar "budaya", "adat", dan "nilai-nilai kelampungan" diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, tak peduli dia memiliki adok maupun tidak. Karena sejatinya adat dan nilai-nilai kelampungan bukan monopoli mereka yang memiliki adok.
* Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Juli 2010
MEMBACA artikel Feodalisme Modern di Lampung yang ditulis Udo Z. Karzi membuat saya gelisah. Udo seperti biasa menulis dengan tajam, berisi, dan ini yang paling menggetarkan: to the point alias "tunjuk hidung".
Mencermati dua peristiwa pemberian adok yakni Begawi Adat Mewaghi di Gunungsugih dan dan penyerahan gelar adat oleh Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) kepada Gubernur dan Ketua DPRD Lampung di Mahan Agung yang kemudian bersambut polemik, antara lain dari Ketua Dewan Perwakilan Penyimbang Adat Lampung (DPPAL) Maulana Raja Niti, aktivis Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Lampung Barat (IKPM Lambar) Novan Saliwa, sai batin dari Talangpadang Irfan Anshory, dan Udo Z. Karzi sendiri pada dasarnya sedang mendiskusikan bagaimana sistem dan nilai adat Lampung diaktualisasikan.
Aktualisasi sistem dan nilai adat ini memerlukan format atau bentuk yang celakanya tak bebas nilai dari kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi.
Aktualisasi untuk Rakyat
Gagasan aktualisasi atau lebih banyak orang menyebut sebagai revitalisasi sistem dan nilai adat memang sedang in pada banyak masyarakat kebudayaan di Tanah Air, termasuk inisiasi yang didorong pemerintah. Motifnya beragam. Pemerintah, misalnya, umumnya memandang budaya paralel dengan pariwisata.
Event-event kebudayaan yang digelar dan disponsori pemerintah tak jauh-jauh dari motif pariwisata, menggairahkan perekonomian lokal, dan syukur-syukur beroleh retribusi untuk menggelembungkan pendapatan asli daerah (PAD). Logika ini linear secara struktural ketika Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata diampu oleh Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
Mengaktualisasikan sistem dan nilai adat di era global seperti saat ini perlu dilakukan secara hati-hati. Di Jawa, misalnya, hingga kini terdapat banyak kraton sejak dari Banten, Cirebon (Kanoman, Kasepuhan, Kacerbonan), Yogyakarta (Kasultanan, Pakualaman) dan Surakarta (Kasunanan, Mangkunegaran) sebagai pemangku adat setelah kerajaan-kerajaan tersebut dilikuidasi. Semangat mengaktualkan sistem dan nilai adat juga tumbuh di komunitas-komunitas ini.
Pemberian adok seperti halnya di Lampung sudah lebih dulu dilakukan Susuhunan Pakubuwono, Raja Solo sejak Pakubuwono XII yang dilanjutkan anaknya Pakubuwono XIII. Meskipun dikritik banyak pihak, setiap ulang tahun penobatan (tingalan jumenengan) Sunan menganugerahkan gelar kepada tokoh, pejabat hingga artis yang dianggap berjasa dalam melestarikan budaya Jawa dan budaya Indonesia.
Tanpa kebijakan ini, rasanya artis Julia Perez tak mungkin akan menerima gelar Nimas Ayu Tumenggung Yuli Rachmawati. Sekadar diketahui, gelar tumenggung selevel dengan jabatan bupati atau senopati perang pada masa Majapahit hingga Mataram. Tak hanya gelar setara bupati, banyak tokoh juga memperoleh gelar pangeran, gelar yang diberikan bagi anak raja, yang pada masanya tak semua anak raja mendapat gelar pangeran.
Memberi penghormatan kepada tokoh yang berjasa bagi pengembangan budaya tentu tak salah, tapi bila kesannya diobral, suatu saat nanti pemberian adok di Lampung bukan tak mungkin diberikan pada artis seperti Julia Perez yang mungkin baru satu kali pula menjejak kaki di kraton saat wisuda jumenengan.
Selain menyelenggarakan event budaya, kraton juga aktif menginventarisasi aset-aset ekonomi utamanya tanah yang tersebar di bekas wilayahnya dulu. Pura Pakualaman dan Kasunanan Surakarta saat ini mulai mendata tanah-tanah magersari di bekas wilayahnya yang kini termasuk wilayah Bantul dan Kulon Progo maupun kawasan Baluwarti Surakarta. Soal aset ekonomi yang diklaim sebagai “hak tradisional” raja dan sultan ini juga menjadi salah satu butir dalam petisi Maklumat Keraton se-Nusantara yang ditandatangani 34 raja, sultan, dan bangsawan pada Festival Keraton Nusantara III di Tenggarong tahun 2002.
Aktualisasi sistem dan nilai adat yang kemudian diformulasikan sebagai aktualisasi “hak tradisional” raja dan sultan perlu didudukkan dalam kerangka kebangsaan dan adat itu sendiri. Saat ini secara de facto dan de jure, kraton-kraton-- termasuk di Jawa yang dahulunya jelas-jelas "negara"-- telah bergeser maknanya menjadi kerabat kraton. Kraton-kraton secara efektif tak lagi memiliki rakyat, juga ditinjau secara de facto dan de jure. “Rakyat” yang masih setia mengikuti tradisi dan upacara-upacara yang diselenggarakan kraton hampir kesemuanya adalah abdi dalem. Abdi dalem saat ini kira-kira sama maknanya dengan pegawai negeri sipil, yang hanya sepersekian persen dari total rakyat.
Kondisi ini bukan tak mungkin terjadi dan menggambarkan realitas “masyarakat adat Lampung”. Oleh sebab perubahan sosial, bukan tak mungkin “masyarakat adat Lampung” saat ini menyempit maknanya menjadi penyimbang dan kerabatnya. Bila saat ini belum, bukan tak mungkin realitasi ini kelak terjadi.
Jadi pertanyaannya, untuk siapa aktualisasi sistem, nilai, dan "hak tradisional" kraton (dan "masyarakat adat") ini sesungguhnya? Benarkah untuk kraton (dan atau adat)? Atau untuk kerabat kraton (baca: penyimbang)? Atau untuk kerabat kraton dan abdi dalem (baca: penyimbang dan kerabat)?
Aktualisasi sistem dan nilai adat juga merecoki sistem politik lokal kita. Isu putera daerah menguat yang oleh seorang budayawan Riau justru dianggap memundurkan pembangunan Riau ketika pemimpin dipilih berdasarkan nasabnya, bukan kapabilitasnya. Di Kutai, Syaukani H.R., sang bupati membangun kembali Istana Kutai Kartanegara di atas tanah seluas 3.500 meter persegi yang menghabiskan duit rakyat dari APBD Kutai sebesar Rp6 miliar dalam kurs dan tingkat inflasi tahun 2002. Istana ini ditinggali Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II dan keluarga.
Begitu juga di Lampung, pertanyaan-pertanyaan besar kita, antara lain bagaimana dan untuk siapa sistem dan nilai adat ini diaktulisasikan? Apakah sistem dan nilai adat serta merta relevan dan kesemuanya perlu diaktualisasikan saat ini? Ketika orang bicara kompetensi dan kapabilitas, apakah kita masih "memerlukan" adok dalam bersaing di era kapitalisme-lanjut hari ini? Benarkah pemberian adok relevan dengan cita "melestarikan adat Lampung"? Apakah "melestarikan budaya" identik dengan upacara dan seremoni?
Dan, tampaknya yang paling penting diaktualisasikan adalah bagaimana caranya agar "budaya", "adat", dan "nilai-nilai kelampungan" diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, tak peduli dia memiliki adok maupun tidak. Karena sejatinya adat dan nilai-nilai kelampungan bukan monopoli mereka yang memiliki adok.
* Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Juli 2010