Judul : Amanat Telah Saya Sampaikan
Penulis : K.H. Ir. Abdul Hakim, M.M.
Penerbit : Pustaka LaBRAK dan BE Press, Lampung
Cetakan : I, Juli 2010
Halaman : x + 128 halaman
EKSISTENSI wakil rakyat setelah resmi dilantik sejatinya di tangan rakyat, maka wakil rakyat memikul beban amanat penderitaan rakyat. Sejauh ini kita mahfum, animo yang terbangun di masyarakat secara luas bahwa wakil rakyat tugasnya hanya 5D: datang, duduk, diam, dengar, duit. Selesai.
Pertanyaannya kemudian, mengapa animo atau opini yang berkembang di masyarakat sedemikian parah? Asumsi meski tak seutuhnya benar, ia hadir memalui proses empiris, ketika rakyat merasa aspirasinya tak disalurkan oleh wakil-wakilnya. Hal tersebut berlangsung berulang-ulang sehingga tak salah pula bila rakyat kemudian menilai dan membangun kesadarannya sendiri.
Ditambah pula minimnya komunikasi antara wakil rakyat di DPR/DPRD dengan pemilihnya (konstituen) menunjukkan lemahnya akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Muara akhirnya masyarakat meragukan komitmen wakil rakyat dalam konteks kinerja dan moralitas.
Lantas di mana letak peran dan fungsi wakil rakyat dalam menjalankan tugas, seperti pembuatan undang-undang, menetapkan APBN bersama presiden, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah, serta menampung dan menindaklanjuti berbagai aspirasi dan pengaduan masyarakat?
Adalah K.H. Ir. Abdul Hakim, dalam buku Amanat Telah Saya Sampaikan secara lugas dan gamblang mengurai tugas dan peranan wakil rakyat, dimulai dari makna dasar wakil rakyat, kemudian fungsi dan tugas serta kinerjanya sendiri sejauh ini sebagai anggota DPR di Komisi V yang membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan perdesaaan, dan kawasan tertinggal.
Wakil rakyat, dari segi kata, legisltafif atau DPR itu sering disebut juga dengan parlemen. Parlemen itu berasal dari kata bahasa Latin, "parle" yang artinya bicara, berkata. Jadi, tidak ada salahnya kalau anggota Dewan itu banyak bicara. Yang jadi masalah justru anggota Dewan tidak pernah berbicara (hlm. 1-2). Tentu saja, ketika berbicara dalam situasi formal dalam persidangan atau tidak formal di luar persidangan, anggota Dewan harus tetap mengedepankan rasionalitas, dengan mendasarkan pada fakta dan data. Sebab, apa yang keluar dari mulut anggota DPR sebenarnya merupakan representasi dari aspirasi atau pemikiran rakyat yang diwakilinya, (hlm. 2).
Yang cukup menggembirakan, ternyata dalam halaman-halaman selanjutnya Abdul Hakim "berani" mengemukakan apa yang sudah diperbuatnya selama ini. Dibuka dengan upayanya mewujudkan transportasi yang manusiawi, berangkat dari pemahaman transportasi merupakan hak dasar masyarakat tetapi masih jauh dari harapan. Karena selain kemacetan, transportasi kita belum berpihak pada publik. Transportasi masih terlalu mahal bagi kaum kebanyakan. Warga harus mengeluarkan 60% dari penghasilannya untuk biaya transportasi (spending share). Baru sisanya, yang hanya 40% untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Padahal, secara filosofis, transportasi berfungsi memfasilitasi pergerakan barang dan jasa, yang justru tidak mampu dipenuhi dengan baik oleh orang Indonesia. Implikasinya jelas, karena sebagian besar pendapatan untuk biaya transportasi, sedangkan pemenuhan kebutuhan dasar (barang dan jasa) lain yang penting justru mendapat alokasi yang lebih kecil, maka yang terjadi adalah kesejahteraan masyarakat semakin menurun (hlm. 6).
Di sisi lain, jalan raya tidak ubahnya "ladang pembunuhan" (the killing fields). Sebuah kondisi yang sangat mengerikan. Namun, begitulah kenyataannya. Tidak kurang dari 30 ribu orang tewas di jalan-jalan raya Indonesia setiap tahun. Sebuah angka kematian yang terasa mencekam.
Dari 30 ribu orang yang meninggal, 65 persen di antaranya adalah korban pengguna sepeda motor. Ironisnya lagi, umumnya mereka adalah usia produktif penopang ekonomi keluarga sehingga berpotensi untuk menambah keluarga miskin di Indonesia. Tidak bisa tidak, harus ada upaya terus-menerus untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas. Perlu diusahakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas secara komprehensif yang mencakup upaya pembinaan, pencegahan, pengaturan, dan penegakan hukum.
Pertama, pembinaan. Pembinaan dilakukan melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas, penyuluhan hukum, dan pembinaan sumber daya manusia. Kedua, pencegahan. Pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengawasan kelaikan jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan kendaraan. Termasuk, pengawasan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang lebih intensif.
Ketiga, pengaturan. Pengaturan meliputi manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta modernisasi sarana dan prasarana lalu lintas. Keempat, penegakan hukum. Penegakan hukum harus dilakukan secara efektif sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan penerapan sanksi yang tegas (hlm. 9).
Selanjutnya, Abdul Hakim memaparkan percepatan pertumbuhan infrastruktur, membangun perumahan rakyat dan daerah tertinggal, dan menjadikan masyarakat tanggap bencana.
Apa yang sudah dituliskan dalam buku ini, memberikan gambaran bahwa sosok Abdul Hakim sebagai wakil rakyat telah melakukan pertanggungjawaban publik. Setidaknya, dengan menuangkan kinerjanya dalam buku ini kita tahu bahwa ternyata tidak seluruh wakil rakyat hanya sebatas beretorika, tetapi memiliki kontribusi strategis dalam pembangunan.
Kehadiran buku ini sangat penting untuk mengisi ruang kosong kontrol rakyat yang selama nyaris tidak ada karena upaya peningkatan kesadaran terhadap rakyat masih sebatas kesadaran semu. Harapannya, ke depan rakyat mempunyai kesadaran politik, sehingga dengan sendirinya kontrol itu akan muncul dari rakyat. Untuk itulah pendidikan politik harus dilakukan oleh semua komponen bangsa ini.
Jika memaknai hakikat amanat penderitaan rakyat bagi seorang pemimpin tak pernah selesai sampai hayat di kandung badan. Semoga buku ini bukan satu-satunya dan terakhir yang ditulis seorang legislator. n
Tri Lestari Sustiyana, Guru SMPN 1 Jatiagung, Lampung Selatan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Juli 2010
No comments:
Post a Comment