July 31, 2010

Swastanisasi FK, Bukan Baru Lagi

Oleh Isbedy Stiawan Z.S.


AGAK sulit mengakui helat Festival Krakatau (FK) XX yang diklaim pemda berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Apalagi disebut kesuksesan itu karena dihadiri kesultanan Cirebon, warga Cikoneng, dan Komering—dua yang disebut terakhir memiliki warna kultur yang sama dengan orang (suku) Lampung.

Persoalannya, sejumlah item event yang dilaksanakan untuk memperkuat FK XX masih seperti tahun-tahun lalu: lomba tari kreasi, pemilihan muli-mekhanai, pawai budaya, seremonial pembukaan, tur ke Gunung Anak Krakatau (GAK), lalu ditutup di Menara Siger. Rentang waktu setiap event—seperti pemilihan muli-mekhanai dan tari kreasi—sangat jauh. Karena itu, boleh jadi, masyarakat pun sudah hampir melupakannya.

Sebenarnya ada banyak indikasi FK XX masih seperti dulu—hanya salin-tempel (copy paste) alias cuma melaksanakan program yang sudah terjadwal. Jadi, apa pun hasilnya, bisa saja Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudbar) yang baru menjabat, Gatot Hadi Utomo, akan melempar kepada pejabat sebelumnya, lantaran yang memprogram bukan dirinya.

Padahal, siapa pun tahu, kepala dinas bukanlah konseptor untuk suatu program. Orang-orang di bawah—bagian program dan pejabat yang jadi pelaksana—sebenarnya yang menganyam suatu program, bahkan yang mengira-ngira anggaran. Oleh karena itu, kesuksesan ataupun kegagalan event FK ini terletak pada konseptor.

Sayangnya, konseptor FK yang ada di tubuh Disbudpar hanyalah meng-salin-tempel (copy paste) kegiatan sebelumnya, meskipun boleh jadi person-nya diganti sehingga yang ditampilkan dari tahun ke tahun, melulu tak berubah. Kalaupun ada penambahan, seperti FK XX 2010, hadirnya paralayang dan pemancing ikan dengan layang-layang di dekat GAK—selain kehadiran utusan dari Sultan Kecirebonan, masyarakat Cikoneng, dan Komering. Tetapi keberadaan itu ibarat pewarna yang tak mampu mewarnai keseluruhan FK. Bahkan lebih ironi: hanya tempelan.

Kita mengharapkan gelar FK masuk pada substansinya. Keinginan kita dengan adanya FK itu, kesenian dan kebudayaan yang ada dan hidup bahkan masih dilakoni oleh masyarakat Lampung dihadirkan sehingga harapan pemerintah (juga mayarakat) kesenian/kebudayaan yang ada dan bisa berkembang. Sebab itulah substansi dari penggalian dan pelestarian, yakni mengembangkan yang masih hidup dan menghidupkan yang mungkin saja sudah hampir dilupakan.

Saya, barangkali banyak seniman Lampung, lebih setuju perlombaan tari kreasi yang tiap tahun digelar di Taman Budaya Lampung sempana dengan FK itu ditiadakan. Kemudian ubah paradigma kita tentang tradisi atau nilai-nilai lokal yang berkembang di daerah ini. Misalnya, memulai dengan mendata ulang segala bentuk kesenian dan tradisi yang hidup dan namun sulit berkembang.

Setelah didata, kita tampilkan dalam satu event khusus. Tentu saja tanpa harus diiming-imingi juara. Sebab, sekali lagi, ketika kesenian—apalagi seni tradisi—memasuki wilayah yang mesti dinilai, maka yang muncul adalah angka-angka (matematis). Kalau sudah berurusan dengan matematis, yang terjadi adalah hitung-hitungan. Juri pun akan berhitung tatkala menerima “pesanan” dari pihak-pihak tertentu. Karena pihak-pihak di luar pelaku seni biasanya yang dipikirkan adalah politis: demi prestise dan bukan prestasi.

Satu contoh lain yang dianggap politis, tatkala Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) menggelar pemberian gelar adat (juluk adat) kepada pejabat—dalam hal ini Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Ketua DPRD Lampung, dan Ketua MPAL—sebuah gelar yang aduhai memesona. Tetapi, kita—barangkali—lupa, gelar adat itu didanai dari uang rakyat. Apakah gelar adat itu sudah diyakini akan melestarikan tradisi yang hanya ada di masyarakat pepadun? Dan, lebih ekstrem lagi, masih pentingkah gelar itu bagi masyarakat yang sudah majemuk seperti sekarang? Ini hanya satu contoh, sekaligus bukti bahwa pemerintah kerap melegalkan sifat menghambur-hamburkan uang.

Swastanisasi

Melihat hasil FK dari tahun ke tahun yang tampaknya tak berkembang, pemikiran asisten II Pemprov bahwa FK pada tahun depan akan diswastanisasikan, harus disambut semua pihak. Meskipun pemikiran pemprov itu bukan hal baru, karena sudah sejak lama banyak pengamat pariwisata yang menghendaki FK tak dikelola oleh Disbudpar Lampung. Bahkan, saya pun sudah terlalu sering menyinggung swastanisasi FK, sayangnya pihak Budpar sepertinya tidak ikhlas melimpahkannya.

Padahal dalam sejarahnya FK pernah dikelola swasta. Saat itu Kadis Pariwisata Idrus Djaendar Muda “menyerahkan” penyelenggaraan FK kepada Aburizal Bakrie, dan pelaksanaan FK dipusatkan di Kalianda Resort. Gaung FK pun menasional, kalau tak ingin dibilang menyeruak ke mancanegara. Cuma Bakrie berani mengalihtangan sekali, selanjutnya pihak Budpar yang merencanakan dan menggelarnya kembali hingga kini.

Pihak swasta akan lebih memikirkan untung-rugi dari suatu event yang digelar. Kalau sudah berpikir “menjual” maka bukan tidak mungkin para duta besar yang akan hadir, wajib membayar untuk segala fasilitas selama penyelenggaraan di sini. Bukan seperti selama ini, justru mereka dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang diberikan pemda—yang notabene sebagai penyelenggara—tanpa ada kewajiban menggalang wisatawan datang ke Lampung seusai FK.

Bila swasta yang ambil alih penyelenggaraan FK, pemda harus tunduk pada aturan yang ditawarkan mereka. Kemudian program-program yang akan ditampilkan, sudah tentu akan diseleksi oleh para kurator yang ditunjuk oleh swasta.
Memang sudah saatnya Pemprov mau legawa untuk mengelola FK ini. Bahkan untuk sejumlah objek wisata pun, mestinya yang mengelola adalah swasta. Pemda, paling tidak, sekadar menyubsidi. Jika maju, keuntungan dibagi. Sebaliknya, apabila rugi, pemda bisa mengalihkan kepada pihak swasta yang lain.

Banyak sebenarnya objek wisata yang bisa diserahkan pengelolaannya kepada swaswa, selain FK. Misalnya, pusat latihan gajah (PLG), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, serta sejumlah objek wisata pantai yang ada di daerah ini. Para swasta yang diberikan tanggung jawab mengelolanya, pastilah punya komitmen untuk memajukannya. Kalau tidak, mereka akan rugi. Berbeda jika pemda yang mengelola, apa pun hasilnya toh tiap tahunnya sudah dianggarkan dalam APBD. Akibatnya, membuka peluang dan ruang untuk memanipulasi anggaran melalui program copy paste atau kegiatan yang di bawah standar seperti selama ini.

Marilah kita seriusi harapan swastanisasi FK. Sebab main-main dalam pasar pariwisata, kita tak akan mendapatkan apa-apa. Kita akan menjadi "katak di balik tempurung", yaitu hanya narsis bahwa Lampung memiliki kekayaan alam wisata, tapi tak mampu dijual. Hanya itu. n

* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Juli 2010

No comments:

Post a Comment