July 4, 2010

[Refleksi] Pilkada

Oleh Djadjat Sudradjat

PUAN-PUAN dan tuan-tuan, jika Anda datang ke Lampung hari-hari ini, akan terasa "cuaca sedikit panas" karena provinsi ini baru saja melaksanakan hajat demokrasi bernama pemilihan kepala daerah. Ada enam kabupaten/kota--dari 14 daerah tingkat dua-- di provinsi ini memilih bupati/wali kota secara serentak, Rabu (30-6). Ada protes, tentu, tentang "ini-itu". Tetapi, sejauh ini belum ada kehebohan yang memekik, kecuali surat suara berlebih dan isu suap kendaraan dari seorang petahana (incumbent) di sebuah kotamadya sebelum hari pemilihan.

Indonesia, juga Lampung, tak dihuni oleh para malaikat, tapi juga tak dikendalikan oleh para jakal. Artinya, mungkin saja yang kalah akan menerima dengan kesatria dan yang menang tak membusungkan dada. Tapi, bisa juga yang kalah akan melihat celah dan yang menang akan meladeninya dengan segala cara. Konflik dan kekerasan memang milik kita. Terlebih, sifat kekerasan memang bisa terjadi di mana saja (omnipresent). Apalagi dalam sebuah kompetisi kekuasaan yang di negeri ini masih dimaknai sebagai jalan menuju "kehormatan" dan bukan "pengabdian". Kehilangan begitu banyak energi, juga "gizi", pastilah memompa adrenalin untuk bertempur melawan siapa saja yang diduga menghalangi.

Puan-puan dan tuan-tuan, kemenangan dalam politik tak sepenuhnya sama dengan olahraga, bukan? Dalam olahraga begitu Anda mengalahkan lawan-lawannya, jam/hari itu juga ia bisa ditahbiskan sebagai juara. Ia boleh melakukan selebrasi dengan seluruh keriangan di hadapan para pecundang yang ambruk. Sudah biasa, misalnya dalam sepak bola, tinju, bulu tangkis, karate, sang penakluk, dan yang takluk dipertontonkan secara kontras. Dalam olahraga kemenangan/juara adalah puncak pencapaian. Sementara dalam politik, kemenangan dalam pemilihan justru sebuah "perjalanan memulai".

Dalam sebuah pemilihan pemimpin publik, kemenangan perlu waktu, meskipun metode hitung cepat bisa memotongnya. Hingga pengumuman resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlebih lagi hingga pelantikan, berbagai kemungkinan bisa terjadi. Dan, Lampung pernah punya pengalaman itu. Pasangan Alzier Dianis Thabranie-Anshori Yunus yang memenangi Pemilihan Gubernur Lampung 2002 tak pernah merasakan pelantikan sebagai orang nomor satu dan dua di provinsi ini.

Kita memahami kemenangan adalah sebuah proses penaklukan. Ada rasa puas, ada beban berat yang menindihnya jadi terbebaskan. Euforia ini secara neurologis perlu ekspresi yang lepas agar jadi etos baru. Tetapi, bagaimana sebuah "perjalanan memulai" untuk sebuah "pengabdian" perlu selebrasi? Subtansi sebuah kepercayaan publik susungguhnya amanah yang harus dijaga, kemudian dipertanggungjawabkan. Begitu sublimnya kekuasan untuk melayani publik, dalam demokrasi, kata Bertrand Russell, tak boleh ada kekuasaan tanpa pengawasan. Dalam demokrasi, kekuasaan politik harus bekerja dengan kesepakatan (pihak lain). Kesepakatan-kesepakatan itulah lapis-lapis kontrol agar kekuasaan tak bersimpang jalan atau bersekongkol dengan yang bacin.

***

MARI berkaca sepanjang 2005--2010. Lebih dari 450 pemilihan kepala daerah digelar, tetapi berapa persenkah hasil hajat politik itu bisa memenuhi harapan publik? Dari sekitar 150 petahana (incumbent), kurang dari sepertiga yang terpilih lagi. Ini artinya, sebagian besar tak punya jejak prestasi yang berarti untuk publik. Padahal, kampanye terbaik bukanlah gambar-gambar bertebaran di seantero kota, janji tinggi-tinggi, atau "jual diri" secara narsistik sebagai pemimpin "bersih-jujur-cerdas-santun-berbudi". Kampanye terbaik adalah bagaimana kekuasaan mampu membuat risalah yang bukan "basa-basi" untuk rakyatnya. Politik pencitraan yang tak berkorelasi dengan realitas yang berdenyut akan jadi omong kosong dan masuk keranjang sampah.

Juga di Lampung. Dari empat petahana--jika hasil rekapitulasi sementara sesuai dengan hasil akhir nanti--hanya dua yang terpilih kembali, yakni Satono (Lampung Timur) dan Lukman Hakim (Metro). Sementara Eddy Sutrisno (Bandar Lampung) dan Wendy Melfa (Lampung Selatan) tak mampu mempertahankan kepercayaan publik untuk periode kedua. Dalam bahasa rakyat, petahana yang kalah ibarat pesepak bola yang gagal menyarangkan gol dalam tembakan dua belas pas. Sebuah peluang emas yang disia-siakan!

Demokrasi bukan lampu Aladdin. Demokrasi adalah sebuah proses, tetapi bukan berarti "boleh apa saja" seperti yang terjadi di negeri ini. Demokrasi juga harus memilah mana yang benar dan mana yang cemar. Kemampuan ini akan memberi pengharapan dan bukan kecemasan. Jika demokrasi tak memunculkan optimisme tapi justru rasa ngeri, ia haruslah dikoreksi. Demokrasi haruslah menebarkan rasa nyaman, lagi-lagi kata Russell, karena dikawal dengan lapis-lapis kesepakatan. Montesquieu jadi benar memisah tiga kekuasaan dengan fungsi yang tegas: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, agar kekuasaan tak jadi tunggal. Meskipun di tangan para diktator, pemisahan ini tak ada artinya.

Pemilihan kepala daerah memang tak sepenuhnya memunculkan awan gelap. Bupati Jembrana I Gede Winasa (Bali), Bupati Sragen Untung Surono (Jawa Tengah), Wali Kota Solo Joko Widodo (Jawa Tengah), Wali Kota Banjar Herman Sutrisno (Jawa Barat), adalah beberapa nama yang menorehkan risalah harapan dan bukan kecemasan. Perolehan suara mereka mencengangkan. I Gede (88,50%), Untung (87,34%), Joko (90,095), Herman (92,19%). Capaian prestasi mereka bergema hingga ke mancanegara.

Puan-puan dan tuan-tuan, bagaimana Lampung? Saya belum melihat ada perubahan signifikan dibandingkan sewindu yang silam. Bahkan, beberapa infrastruktur jalan kian hancur. Jalan Soekarno-Hatta sebagai etalase ibu kota provinsi ini kian kerap memakan korban. Mobil-mobil para pejabat kian banyak yang bagus, tapi pengemis dan anak-anak jalanan kian bertambah. Petani kecil, nelayan, dan para buruh, tetap dalam hidupnya yang getir. Kontras-kontras ini kian memudahkan kita membuat kesimpulan, bahwa demokrasi kian memakmurkan para elitenya, tetapi tetap memiskinkan rakyatnya. Padahal, rakyatlah sumber utama kekuasaan itu.

Sungguh, saya cemas. Sebab, umumnya begitu kekuasaan berada di tangannya mereka langsung sibuk menuntut hak-haknya, tetapi abai pada kewajiban-kewajibannya! Saya berharap pilkada di Lampung kali ini menorehkan sesuatu yang berbeda!

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Juli 2010

No comments:

Post a Comment