LABUHAN MARINGGAI (Lampost): Di tengah cuaca dingin akibat hujan, seorang penghuni perkampungan Kualakambas yang rumahnya digusur petugas, meninggal dunia.
SISA-SISA PENGGUSURAN. Dua bocah bermain di dekat puing-puing rumah yang dibakar petugas di Kualakambas kemarin. Di tempat itu, masih ada beberapa warga yang tinggal sementara.(LAMPUNG POST/AGUS SUSANTO)
Nyiwar (60), perempuan yang hidup sebatang kara di perkampungan Kualakambas, masuk wilayah Taman Nasional Way Kambas (TNWK), itu meninggal di musala tempatnya berteduh, Sabtu (17-7), sekitar pukul 18.00. Jenazahnya dimakamkan di tempat permakaman umum, sekitar 4 km dari permukiman, esok paginya, Minggu (18-7). Di permakaman umum itu sudah ada ratusan kuburan warga yang meninggal di sana.
Rasmi (35), tetangga Nyiwar, menduga perempuan tua itu tidak kuat menahan cuaca dingin selain karena kondisinya yang sudah tua. Selain itu, sejak rumah-rumah di sana dibakar petugas, Jumat (16-7) lalu, warga tak lagi memperhatikan Mbah Nyiwar.
"Sejak rumah-rumah kami dibakar, kami tidak lagi memperhatikan Mbah Nyiwar karena kami sibuk mengurus diri masing-masing," kata Rasmi yang baru saja mendarat di Kualapenet kemarin sore.
Dihubungi terpisah, Humas Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Sukatmoko mengaku sudah mendengar kabar ada warga Kualakambas yang meninggal dunia.
"Kemungkinan karena Mbah Nyiwar sendiri sudah sepuh. Kami tidak membakar rumah Nyiwar, bahkan kami sering memberi makan dia selama operasi gabungan di Kuala Kambas," ujar Sukatmoko.
Tetapi, menurut pengamatan Lampung Post, tak ada lagi rumah yang tersisa di Kualakambas, selain sebuah musala sederhana yang atapnya sudah bocor. Dua rumah belum sempat terbakar habis karena hujan turun, tetapi tak bisa lagi dihuni.
Sejumlah warga Kualakambas maupun di Kualasekapuk sudah meninggalkan lokasi tetapi masih ada beberapa orang yang bertahan. Mereka menunggu cuaca di laut membaik.
Kualakambas dan Kualasekapuk bisa ditempuh dalam waktu satu jam dari Kualapenet, Desa Margasari, Labuhanmaringgai. Ongkosnya Rp40 ribu per orang atau Rp200 ribu/perahu. Untuk ke Kualakambas juga bisa ditempuh melalui sungai yang ada di TNWK dalam waktu 45 menit. Tetapi, sungai itu tak boleh dilalui masyarakat, kecuali petugas.
Menurut Sukatmoko, pihak TNWK sudah menawarkan kepada warga Kualasekapuk dan Kualakambas untuk mengantar ke Kualapenet melalui Sungai Way Kanan jika alasan mereka enggan meninggalkan lokasi karena cuaca. "Namun, tawaran kami ditolak. Mereka memilih menunggu cuaca laut teduh," ujar Sukatmoko.
Ditahan di Polres
Sementara itu, lima warga Kualakambas dan Kualasekapuk masih ditahan di Polres Lampung Timur. Sebelumnya, tim gabungan dari Polri dan Polhut menangkap enam orang yaitu Herman, Sulaiman, Jasrul Tanjung, Heri, Yosudarso, dan Eka. Herman dan Sulaiman ditangkap di Kualakambas, Kamis (15-7) sore. Empat lainnya, ditangkap di Kualasekapuk, Sabtu (17-7).
Sukatmoko mengatakan lima tersangka yang diduga sebagai provokator karena menolak pindah itu masih diperiksa di Polres Lampung Timur. Sementara, Sulaiman sudah dipulangkan pada Jumat (16-7) karena tak ada bukti kuat untuk menahannya. Lima tersangka disidik oleh dua anggota Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai TNWK, yaitu Sunardi dan Andi Hari.
Berkaitan dengan penggusuran terhadap permukiman nelayan di Kualakambas dan Kualasekapuk, anggota DPD asal Lampung Iswandi berdialog dengan Kepala Balai TNWK Jhon Kenedei, Sabtu (17-7).
Kepada Iswandi, Jhon Kenedei mengatakan aksi aparat terhadap permukiman nelayan itu sudah memenuhi standar kemanusiaan. Alasannya sudah melalui sosialisasi, penyuluhan, bahkan pemberian bantuan untuk pindah sejak beberapa tahun lalu.
Jika penggusuran tidak dilakukan, ujarnya, dikhawatirkan menjadi masalah baru untuk kelestarian hutan dan menimbulkan kecemburuan penduduk sekitar TNWK.
Menanggapi penggusuran itu, Iswandi berharap aparat terkait di Lampung agar bersama-sama melihat masalah ini dengan arif dan tidak saling menyalahkan.
"Kami dari DPD juga meminta kepada Kepala Balai TNWK, Dirjen, dan Menteri Kehutanan untuk memberi solusi bagi mereka yang digusur. Pasalnya, perambah juga manusia yang memiliki hak hidup. Sementara, hutan juga harus lestari," ujar Iswandi. (MG6/LOH/R-2)
PENGGUSURAN NELAYAN DI TNWK: Bertahan hingga Ajal di Kualakambas
LABUHANMARINGGAI--Selama dua hari sejak Jumat (16-7), hujan terus turun di perkampungan Kualakambas. Dalam cuaca dingin itu, Nyiwar (60) berteduh di musala, berdesakan-desakan dengan puluhan warga.
Maklum, tinggal itulah satu-satunya bangunan yang tersisa di bekas permukiman nelayan di tepian Taman Nasional Way Kambas (TNWK) tersebut. Rumah-rumah nelayan di situ, sekitar 30 rumah, habis dibumihanguskan oleh aparat kepolisian dan Polisi Kehutanan pada Jumat (16-7).
Siang harinya, masih ada warga yang melihat Nyiwar tidur-tiduran di musala. Sore harinya, menjelang magrib, warga mencoba membangunkannya. Ternyata, perempuan sebatang kara itu sudah tak bernyawa.
Warga mencoba mengontak nelayan di Kualapenet, Desa Margasari, Kecamatan Labuhanmaringgai, Lampung Timur, agar mengirimkan perlengkapan jenazah.
Tapi, karena gelombang tinggi, nelayan di sana tak berani melaut menuju Kualakambas yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu satu jam jika cuaca bagus. Pagi harinya, Minggu (18-7), jenazah disalatkan di musala. Lalu, dengan dibungkus kain seadanya, jenazah dikuburkan di bekas permukiman tersebut.
Rasmi (35), seorang warga Kualakambas, menduga Mbah Nyiwar meninggal selain karena faktor usia, juga karena tak kuat menahan cuaca dingin. Tempat berteduh satu-satunya, yaitu musala, sudah banyak yang bocor.
Sebelumnya, warga sekitar yang mengurus dan memberi makan Mbah Nyiwar yang tinggal sendiri di rumahnya. "Sebelumnya, kami masih memperhatikan Mbah Nyiwar. Namun, sejak rumah-rumah kami dibakar, kami tidak lagi memperhatikan Mbah Nyiwar karena kami sibuk mengurus diri masing-masing," kata Rasmi yang baru saja mendarat di Kualapenet dari Kualakambas kemarin sore.
Warga di sana mengurus Nyiwar karena perempuan tua itu tak memiliki tempat tinggal lain selain di Kualakambas. Ia juga tak memiliki saudara di sana.
Nyiwar yang sudah tinggal di Kualakambas sejak puluhan tahun itu memang pernah memiliki suami. Namun, ketika belum dikaruniai anak, suami Nyiwar malah tewas dimakan buaya di Sungai Way Kanan.
Nyiwar kemudian menikah lagi. Tapi, belum sempat dikaruniai anak, suami keduanya meninggal karena sakit. Selanjutnya, Nyiwar tidak menikah lagi dan tetap bertahan di Kualakambas hingga ajal menjemputnya. (AGUS SUSANTO/R-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Juli 2010
Satu catatan nya adalah bahwa Nelayan Kuala Sekapuk dan Kuala Kambas yang dituding perusak Hutan sejatinya adalah pelestarian hutan dan pelestari budaya tangkap ikan tradisional dengan kwalitas ikan super bebas bahan pengawet dengan menggunakan alat tangkap payang padang dan jaring , terkait issue perusak hutan, nelayan disana tidak pernah bercocok tanam di lahan hutan bahkan secara otomatis masyarakat disana menjadi benteng pertahanan hutan TNWK dari serangan perambah hutan dan pemburu satwa langka, pasalnya para perambah dan pemburu tidak berani masuk hutan karena ada masyarakat nelayan disana.
ReplyDelete