July 11, 2010

[Fokus] Serbabaru di Tahun Ajaran Baru

Oleh Udo Z. Karzi


RUPANYA tidak hanya Idulfitri yang semuanya �harus� baru. Tahun ajaran baru semua perlengkapan sekolah juga harus anyar. Lihatlah kesibukan di toko buku dan perlengkapan sekolah sekolah, bahkan pedagang kaki lima.

Masyarakat menyerbu tempat-tempat itu untuk mencari buku, pena, pensil, seragam, sepatu sampai tas sekolah untuk anak-anak mereka.

Dana yang disediakan mencapai Rp5 juta per keluarga. Dana tersebut baru sebatas perlengkapan sekolah saja, sementara untuk buku pelajaran, para orang tua harus menyediakan dana tambahan.

Kenapa mesti baru? Agar anak-anak tidak malu bertemu kembali teman-temannya saat masuk sekolah. Untuk seragam lama, jika tidak bisa dipakai lagi akan digunakan sebagai baju main atau diberikan kepada orang yang membutuhkan. "Jika sudah benar-benar tidak layak ya dibuang," kata Farida, seorang pengunjung Toko Buku Gramedia Bandar Lampung.

Tapi, kondisi ini hanyalah salah satu faktor mengapa setiap tahun baru semua harus baru. Yang paling besar sumbangannya mengapa semua harus baru adalah karena pemerintah yang suka berganti kebijakan. Misalnya, dalam soal buku pelajaran.

Padahal, tidak seharusnya setiap tahun ajaran baru harus serbabaru. Buku-buku lama yang masih bisa dipakai jelas bisa dimanfaatkan kembali. "Selain itu, pakaian lama yang masih bisa dipakai, nggak harus beli baru. Itu namanya mubazir dan pemborosan. Itu kan nggak sifat seorang pelajar. Yang paling penting meningkatkan prestasi," kata Sinta, seorang siswa SMA di Bandar Lampung.

Dulu, pada 1980-an, semua anak sekolah menggunakan buku pelajaran yang sama dan tidak ada perubahan dari tahun ke tahun. Orang tua tidak perlu membeli buku pelajaran baru untuk anak-anaknya yang baru masuk sekolah atau baru naik kelas. Buku pelajaran diturunkan dari buku kakaknya, terus buku ini "diwariskan" lagi ke adiknya.

Tapi sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Tahun ajaran baru menjadi mimpi buruk bagi sebagian orang tua, apalagi dari keluarga yang kurang mampu. Mereka mereka harus mengeluarkan banyak dana untuk membeli buku pelajaran baru bagi anak-anak mereka. Buku harus baru karena yang cetakan tahun lalu sudah kedaluwarsa.

Penyebabnya, bukan perkembangan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat. Ini semua tidak ada urusannya dengan kenyataan bahwa materi di buku tahun lalu sudah kuno, sehingga kalau diberikan pada anak didik setahun berikutnya sudah akan ada sejumlah perkembangan baru yang tidak tercakup di buku sebelumnya. Ilmu tidak berkembang sepesat itu. Hukum gravitasi bertahan dalam bilangan abad. Tata bahasa Indonesia tidak setiap tahun ganti sejalan dengan perkembangan bahasa gaul, misalnya.

Biang keroknya apalagi kalau bukan komersialisasi pendidikan. Buku pelajaran adalah bisnis puluhan miliar rupiah yang membawa keuntungan pada banyak pihak. Kalau buku pelajaran tidak usah berubah, jumlah buku baru yang harus dicetak setiap tahun akan terbatas. Dengan pendekatan �ganti tahun ganti buku�, si penerbit tidak akan kehabisan order. Jumlah buku yang harus mereka cetak setiap tahun akan sesuai dengan jumlah murid.

Tapi, penerbit tidak berjalan sendiri. Mereka bisa melakukannya hanya kalau Kementerian Pendidikan merestuinya. Maka, hampir pasti ada orang-orang di pemerintah yang turut mendapatkan upeti dari bisnis buku pelajaran. Itu pun tidak akan jalan kalau para pengambil keputusan di sekolah-sekolah menolak penggantian buku. Maka, tentu juga keuntungan bisnis dibagi dengan sekolah.

Yang gigit jari tinggal orang tua. Ganti tahun, ganti buku. Padahal, materi dasarnya tidak berubah. Penempatan isi buku saja yang dibolak-balik.

Kalau guru berkata, "Anak-anak, coba buka halaman 30," anak-anak yang tidak punya memegang buku baru dan hanya mempunyai cetakan tahun lalu untuk judul yang sama tentu tidak akan bertemu karena materi tentang itu sudah berpindah ke halaman 42. Kalau begini, bahkan siswa yang tidak naik kelas sekalipun harus membeli buku baru.

Mafia Proyek

Beberapa waktu lalu dikabarkan, untuk menyukseskan pemberlakuan KBK (kurikulum berbasis kompetensi) secara menyeluruh pada semua level jenjang pendidikan kita yang mulai efektif mulai tahun ajaran baru ini, pemerintah telah mengalokasikan Ro3,175 triliun kepada pihak sekolah untuk membeli buku teks atau pelajaran yang nantinya "dipinjamkan" kepada siswa dalam bentuk e-book.

Kebijakan ini tentu saja baik. Sebab, buku teks atau buku pelajaran memegang peran yang cukup penting dalam kegiatan belajar-mengajar karena ia merupakan salah satu sarana untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ketersediaan buku teks atau buku pelajaran yang baik, sangat besar perannya dalam menunjang keberhasilan kegiatan belajar-mengajar.

Tapi, segera saja timbul masalah baru. Sebab, tidak semua sekolah--apalagi di wilayah perdesaan--mempunyai akses internet untuk mengunduh e-book pelajaran itu. Bagaimana menyukseskan political will pemerintah tersebut di lapangan nanti? Selama ini upaya pengadaan buku teks lebih banyak dilihat dari sisi kepentingan bisnis oleh penentu anggaran, penerbit, dan pelaku pendidikan.

Pengejawantahan buku teks bukan dalam perspektif yang lebih mulia, yakni sebagai sarana mewariskan pengetahuan dan ajaran dari generasi ke generasi.

Tidak heran jika dalam prakteknya upaya mewujudkan tersedianya buku-buku teks yang berkualitas dan "gratis" di sekolah lebih banyak impian.

Sebenarnya kebijakan Dinas Pendidikan menyuplai buku-buku pelajaran atau buku teks ke sekolah-sekolah bukan merupakan hal baru. Sejak tahun 1990-an upaya semacam ini sudah dilakukan lewat proyek pengadaan buku pelajaran sekolah. Saat itu hampir semua mata pelajaran pokok yang diajarkan di semua jenjang persekolahan kita, termasuk sekolah-sekolah kejuruan, secara bertahap diupayakan pengadaannya. Bahkan pada jenjang SD, semua mata pelajaran yang diajarkan, kecuali muatan lokal, buku-buku teksnya telah diproyekkan semua.

Selain itu sejak tahun 1980-an dinas juga secara rutin mengadakan tender pengadaan buku-buku bacaan penunjang, baik untuk siswa maupun untuk guru, untuk mengisi perpustakaan sekolah yang ada di seluruh Indonesia yang jumlahnya telah mencapai ribuan judul. Lewat proyek-proyek pengadaan buku sekolah tersebut semula diharapkan tercapai keseimbangan antara jumlah buku teks dengan jumlah siswa yang ada (1:1). Dengan begitu, selain akan sangat menunjang proses belajar-mengajar juga akan ikut membantu meringankan beban para orang tua.

Namun, seperti kita semua tahu, cita-cita luhur nan mulia tersebut ternyata hanya tertulis dalam proposal proyek. Dalam prakteknya keberadaan buku teks gratis di sekolah-sekolah kita sekadar impian. Padahal dana yang dikeluarkan untuk pengadaan buku-buku teks tersebut jumlahnya mencapai triliunan rupiah, baik dari APBN dalam bentuk rupiah murni maupun dari pinjaman lembaga donor semacam Bank Dunia.

Besarnya dana tersebut dapat dimaklumi karena konon kabarnya untuk menyediakan satu jenis buku teks mata pelajaran saja, biayanya tak kurang dari Rp70 miliar!

Mengapa semua itu terjadi? Jawabnya apalagi kalau bukan akibat merajalelanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta lemahnya pengawasan. Atau dalam bahasa seorang rekan penulis yang telah banyak berkecimpung di dunia perbukuan, penyebab kegagalan proyek pengadaan buku sekolah di masa Orba (dan juga masih terjadi hingga saat ini) akibat bercokol kuatnya "mafia" perbukuan di lingkungan orang-orang Kementerian Pendidikan.

Dalam prakteknya, dari mulai proses seleksi hingga tender pengadaan buku-buku teks sekolah yang saat itu mengusung bendera kurikulum 1994 tersebut, nyaris semuanya dilakukan oleh Direktorat Sarana (kini statusnya telah direstrukturisasi).

Selain itu, proses tender terhadap buku-buku teks tersebut dinilai tidak pernah transparan. Di samping itu, karena kerangkanya proyek, kerap kali buku-buku teks tersebut dibuat secara instan dan asal jadi. Padahal, sebuah buku teks supaya dapat tampil dengan mantap dan dapat dipertanggungjawabkan mutu keilmiahannya, haruslah digarap lewat proses dan urutan langkah profesional. Dimulai dari penulisan naskah, telaah dan revisi naskah, uji coba di lapangan, evaluasi hasil uji coba, revisi naskah berdasar hasil evaluasi, baru kemudian diproduksi secara massal.

Pada tahap evaluasi tersebut mencakup dokumentasi kesan guru dan siswa sewaktu menggunakan buku teks tersebut. Karena dibuat secara "kilat", jelas buku-buku teks tersebut pada umumnya mengabaikan tahap-tahap tersebut.

Sebagian oknum guru atau kepala sekolah untuk tidak menggunakan buku-buku yang dihasilkan pemerintah. Kemudian dengan alasan agar terjadi keseragaman, mereka meminta kepada para siswanya untuk menggunakan buku-buku teks terbitan swasta tertentu yang jumlah nyaris tak terbatas serta kualitasnya banyak yang lebih baik. Akibatnya, kembali para orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli buku-buku teks bagi anak-anaknya setiap kali datang tahun ajaran baru.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Juli 2010

No comments:

Post a Comment