Oleh Aang Kusmawan
PERDEBATAN wacana pendidikan kita masih berkutat disisi mikro seperti pro-kontra penyelenggaraan UN dan kontroversi BHP. Ini tidak salah, tetapi wacana pendidikan sejatinya masih banyak yang lebih substansif. Itulah sisi makro dari pendidikan. Mari berbicara mengenai sisi makro dari pendidikan kita!
Angka Kemiskinan Tinggi
Menurut data strategis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, angka kemiskinan Indonesia selama empat belas tahun terakhir ternyata tidak pernah bertambah dan berkurang dengan signifikan, kecuali ketika krisis moneter terjadi. Tercatat dari tahun 1996, masyarakat miskin Indonesia mencapai angka 17,47%, lalu 1998 persentase tersebut naik menjadi 24,23% dan setelah itu selama kurang lebih enam tahun persentase kemiskinan konsisten mengalami penurunan sampai pada tahun 2005 menembus angka 15,97%. Akan tetapi satu tahun kemudian angka tersebut kembali mengalami kenaikan menjadi 17,75% dan terakhir pada Februari 2009 angka kemiskinan masyarakat mencapai 14,15%.
Setali tiga uang dengan angka kemiskinan, angka pengangguran terbuka dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 juga ternyata tidak mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2007 angka pengangguran tercatat menembus angka 9,4% lalu pada 2008 sedikit mengalami penurunan menembus angka 8,42% dan terakhir pada Februari 2009 menembus angka 8,14% dari jumlah penduduk.
Kesimpulan sederhana dari dua data di atas adalah negara dan masyarakat kita masih berada di bawah bayang-bayang kelabu kemiskinan dan pengangguran!
Sejatinya, problematika kemiskinan, pengangguran, dan pendidikan merupakan hal yang berkelindan erat. Ketiganya bersama-sama saling memengaruhi dan bisa dibaca secara reflektif. Kondisi kemiskinan bisa dijadikan cermin atas pelaksanaan pendidikan, juga kondisi pengangguran bisa diposisikan sebagai cermin dari pelaksanaan pendidikan. Intinya, kelindan tiga hal tersebut bisa merupakan cerminan secara langsung dan tidak langsung dari sistem pendidikan yang dijalankan.
Ragnars Nurkse, teoritikus ekonomi pembangunan, mencoba menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan beberapa variabel yang memengaruhinya dengan mengunakan teori lingkaran setan kemiskinan (circular evil system). Nurkse memandang kemiskinan sebenarnya bisa dijelaskan dengan variabel produktivitas dan varaiabel modal.
Produktivitas yang besar akan mengakibatkan pendapatan seseorang akan juga tinggi. Ketika pendapatan seseorang tinggi, secara sederhana ia akan mampu memenuhi kebutuhan primer hidupnya. Ketika seseorang sudah bisa memenuhi kebutuhan tersebut, secara sederhana ia tidak lagi dikatakan miskin. Asumsi yang dibangun yaitu semakin tinggi angka produktivitas maka peluang seseorang untuk miskin sangatlah kecil.
Sedangkan mengenai modal, asumsinya adalah semakin besar tingkat modal serta semakin tingginya tingkat pemupukan modal (baca: tabungan) maka peluang seseorang untuk menjadi miskin sangatlah tipis. Hal ini artinya sama dengan semakin besar modal yang dipunyai seseorang, semakin besar pula seorang tersebut mendapatkan pendapatan yang tinggi. singkat kata, modal dan pemupukan modal yang besar akan berpeluang besar meningkatkan produktivitas.
Mengacu pada dua variabel tersebut, kita bisa melihat bahwa secara mendasar pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Seseorang yang mempunyai produktivitas tinggi, secara konseptual pasti mempunyai pemikiran yang luas serta mendalam mengenai hal yang digelutinya. Adapun modal dan pemupukan modal secara teoritis sebenarnya akan didapatkan dari sisa pendapatan yang didapatkan dari produktivitas yang tinggi. Singkat kata, pendidikan merupakan hal penting bagi angka produktivitas dan pemupukan modal. Dengan demikian, pendidikan menjadi faktor determinan atas kondisi kemiskinan yang terjadi.
Filsafat Positivistik
Akan tetapi jika kita benturkan dengan angka kemiskinan dan pengangguran di atas, secara jujur penulis menyatakan ternyata pendidikan kita, khususnya sekolah, gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai tempat dalam peningkatan ilmu pengetahuan. Sekolah belum mampu mendongkrak angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
Menjelaskan letak kesalahan dan kekurangan pendidikan Indonesia memang bukan hal yang mudah. Hal ini seperti ibarat mengurai benang kusut. Tapi secara sederhana kita bisa menjelaskan dan menganalisisnya dari dua hal. Pertama adalah filosofis, kedua adalah teknis pelaksanaan yang meliputi sistem, metode dan lingkungan belajar (baca: lingkungan sekolah), manajemen sekolah serta profesionalisme guru.
Jika dipetakan faktor yang paling dahulu dan paling berpengaruh terhadap keberlangsungan sistem pendidikan, faktor filosofis merupakan hal tersebut. Faktor filosofis menjadi landasan berpijak sistem pendidikan nasional itu sendiri. Atau dalam bahasa lain, faktor filosofis merupakan narasi besar (grand narrative) dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional!
Dominasi filsafat positivistik dalam sistem pendidikan pada akhirnya akan melahirkan peserta didik yang mempunyai peserta didik yang bertipe rasionalitas teknokratik. Secara lebih dalam, peserta didik yang mempunyai rasionalitas tehnokratik ini mempunyai dua karakter utama, yaitu konformitas dan uniformitas. Karakter konformitas, dalam prosesnya mengarahkan peserta didik untuk bersikap pasif dan adaptif terhadap teks dan konteks. Sedangkan uniformitas melahirkan peserta didik yang hanya mempunyai satu dimensi, atau keseragaman dalam hal pandangan mengenai kehidupan.
Sikap pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dan konteks (realitas kehidupan) bukannya tanpa masalah, secara lebih dalam, sikap ini mengarahkan peserta didik untuk tidak berpikir secara lebih kreatif dan kritis. Akibatnya, adalah tidak terjadinya produksi ilmu pengetahuan yang baru. Yang terjadi cenderung reposisi, reduksi serta reduksi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Salah satu realitas konkret dari hal ini adalah banyaknya siswa yang hanya menjadikan buku teks sebagai media untuk mendapatkan kumulatif nilai yang besar, tanpa kemudian berpikir lebih dalam lagi dengan melakukan kritik atas teks tersebut! Pada akhirnya, rasionalitas tekhnokratik ini akan menggeser kesadaran peserta didik mendekati kesadaran pragmatis, jangka pendek untuk kepuasan individu dan menjauhi kesadaran strategis yang bersifat idealis-utopis untuk kemajuan peradaban manusia.
Dalam konteks seperti ini, akan sangat wajar apabila selama empat belas tahun terakhir ini angka kemiskinan kita tidak berkurang dengan signfikan. Karena selama empat belas tahun ini sekolah telah didominasi oleh budaya-budaya positivistik yang menghasilkan lulusan yang berorientasi pragmatis dan tidak kritis!
Oleh karena itu, jika kemudian hal ini tidak menjadi perhatian serius bagi seluruh birokrasi serta semua pihak yang peduli akan pendidikan yang lebih baik, maka sistem pendidikan kita tidak lebih sekadar bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Aang Kusmawan, Guru ekonomi, sedang melakukan riset kemiskinan
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Juli 2010
No comments:
Post a Comment