Oleh Siti Nurbaya
IISTILAH kemajemukan (pluralitas) akrab terdengar dalam tataran politik, idealisasi, strategi, dan sesuatu yang bersifat sangat sensitif, terutama di Lampung dengan simbol Sang Bumi Ruwa Jurai. Namun, istilah ini sangat jarang diekpslorasi pada tataran operasional dan prosedural birokrasi pemerintahan. Belakangan, di era otonomi daerah, pengelolaan kohesi sosial dalam pluralitas tersebut menjadi salah satu indikator belum bagusnya implementasi otonomi daerah di Indonesia. Alasannya, konsensus politik desentralisasi dengan dilandasi kemajemukan bangsa dan daerah pada akhirnya menjadi faktor utama yang mendorong implementasi otonomi daerah secara kenyataan berkembang sendiri-sendiri menurut ciri dan karakter daerah, sehingga pemerintah nasional (dibaca: Pemerintah Pusat) menjadi "keteter".
Turun naik proses harmoni dan disharmoni saat ini sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, terutama belakangan ini mencuat secara nasional, kejadian di Lampung. Pada masa lalu nilai-nilai pluralis dirangkum dalam Wawasan Nusantara, yang mengakomodas pluralitas. Wawasan Nusantara berkembang ketika itu sebagai alat dalam dialog antarmasyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing.
Sekarang sudah sangat dirasakan indikasi kebutuhan untuk membangun kepercayaan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme. Misalnya dengan menyediakan ruang dialog antaretnis, sehingga pluralitas bisa dipahami dan dapat memperpendek ruang dan jarak pemaknaan antarsuku-suku bangsa golongan atau elemen-elemen yang bersifat plural di Indonesia.
Konsep Pluralitas
Per definisi, pluralitas adalah nilai-nilai yang meghargai perbedaan dan mendorong kerja sama bersama berdasar kesetaraan. Di dalamnya terkandung dialog untuk membangun hubungan antarunsur dengan latar belakang yang berbeda, termasuk juga adanya kerja sama untuk mencapai tujuan yang searah (Endy M. Basyuni, 2007). Pluralis menurut ilmu-ilmu sosial berarti kerangka interaksi yang menunjukkan adanya sikap saling menghargai, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama secara produktif dan berlangsung tanpa konflik atau terjadi asimilasi. Sementara itu, menurut Azyumardi Azra (mengutip Furnivall, 1944), bahwa masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal. Teori ini berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif homogen, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama, dan gender. Definisi lain menurut Aung San Suu Kyi, (1991) bahwa pluralitas, tepatnya berkembang karena adanya perbedaan kultur yang penting bagi bangsa dan rakyat yang berbeda untuk sepakat akan hal-hal mendasar, yaitu nilai-nilai kemanusiaan yang direfleksikan sebagai faktor pemersatu. Kata pluralis muncul dalam kondisi atau peristiwa, termasuk di antaranya peristiwa sensitif seperti terkait dengan agama, suku, gender, hak asasi manusia dan budaya.
Secara lebih spesifik isu pluralis di Indonesia sering terkait dengan isu agama, gender, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, isu putra daerah, dan gejala pemilahan sosial sebagai konsekuensi kebijakan pemerintah nasional (pusat). Dengan demikian, sesungguhnya pemerintah (daerah) dan jajaran birokrasi, perlu secara cermat melihat persoalan yang timbul terkait dengan pluralitas tersebut dan mengembangkan kerangka konseptualnya yang relevan. Pada perspektif birokrasi, pluralitas adalah filosofi demokrasi keterwakilan dalam roda pengambilan keputusan di mana kelompok atau golongan menikmati aktivitasnya, legitimasinya, dan pengaruhnya dalam merumuskan kebijakan publik.
Implikasi utama kebijakan terkait pluralitas di antaranya: Pertama, harus ada keseimbangan dalam distribusi kekuasaan. Kedua, adanya semangat kompetisi dan partisipasi di antara kelompok yang terorganisasi dengan baik (bukan individual) yang hadir dalam sistem sosial yang ada. Dan ketiga, harus ada penilaian tentang kondisi plural untuk menghindari dominasi elite yang dapat mengganggu nilai keterwakilan. (Mazziotti D.F., Journal of the American Institute of Planners, 1974)
Permasalahan dan Gejala Gangguan Kohesi Sosial
Ada beberapa hal yang relevan dalam persoalan pluralitas yang dapat dianalisis dalam perspektif birokrasi. Pertama, persoalan agama dan syariah, yang kerap muncul berupa pengaturan dengan peraturan daerah. Dalam hal ini, bagi birokrasi, yang perlu menjadi pertimbangan serius adalah prinsip dalam konsep keseimbangan bagi semua pihak.
Kedua, persoalan yang mengarah pada pornografi. Birokrasi harus dapat menilainya dengan prinsip keseimbangan penghargaan kepada keberadaan dan norma-norma dalam masing-masing unsur masyarakat.
Ketiga, persoalan masyarakat hukum adat, masyarakat yang mempunyai kebersamaan yang kuat. Artinya, manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. Pada tahap lanjut, masalah masyarakat hukum adat dikaitkan dengan pluralitas juga akan mengena pada persoalan hak asasi manusia dan hak atas akses pada sumberdaya alam. Seperti diketahui, salah satu ciri masyarakat hukum adat ialah melekat pada sumber daya lahan (tanah), air, dan hutan.
Keempat, dan ini yang mungkin sebetulnya merupakan masalah yang sungguh-sungguh masalah, tanpa disadari berkembang, yaitu masalah kesenjangan yang semakin lebar di tengah masyarakat, akibat dari format kebijakan pemerintah (daerah) yang kurang tepat sasaran, juga, misalnya akibat mata pencaharian dikaitkan dengan format kultur.
Pada kasus Lampung, sebab keempat ini patut dipercaya dan diwaspadai. Sebab, apabila kita telusuri secara mendalam pada wilayah-wilayah pertanian dan pelosok desa, berbagai kebijakan pemerintah dan berhasil diterapkan serta membangun masyarakat. Namun, di sisi lain juga membentang kesenjangan horizontal. Misalnya, ada perbedaan cara dalam bercocok tanam dikaitkan dengan faktor budaya, yang sebetulnya sudah berasimilasi sekitar seratus tahun untuk Lampung, mengingat program transmigrasi pemerintah telah dimulai antara tahun 1905-1922.
Kelima, dalam konteks lantaran pergesekan itu karena interaksi antargenerasi muda, maka faktor keselarasan dinamika antarmasyarakat pemuda disertai fasilitas di desa atau di wilayah yang dimiliki. Di sana bisa juga menjadi persoalan. Dalam upaya bersama membangun dinamika generasi muda di waktu yang lalu, organisasi kemasyarakatan pemuda, antara lain Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan KNPI Lampung, melakukan analisis dan pendekatan lapangan dna bekerja bersama-sama membangun dinamika bersama seperti dengan menanam jagung bersama (di kecamatan Jabung bersama AMPI Lampun Tengah) dan menanam penghijauan dengan pohon duren di pelosok desa di Kecamatan Palas, atau membangun kelompok orkes remaja di Kecamatan Padangcermin bersama AMPI Lampung Selatan, serta memangun kelompok marching band sekolah (bersama AMPI Kota Bandar Lampung). Begitu juga upaya-upaya pekan olahraga dan seni desa (Porseni Desa), sampai ke Bahuga dan Pesisir Selatan. Fakta-fakta dan pola pembinaan demikian tidak bisa berhenti, apalagi dalam situasi yang semakin dinamis saat ini. Namun, tentu saja sudah membutuhkan penyesuaian format, mengingat bahwa remaja dan generasi muda saat ini memiliki milieu dan instrumen dan fasilitas abad modern, seperti blog, Tweeter, Facebook, linked-link, Tag, dll. Harus ada pola interaksi bersama masyarakat dengan modifikasi upaya dinamisasi generasi muda selanjutnya.
Dari keseluruhan persoalan tersebut, sangat jelas juga bahwa yang hadir ialah persoalan gangguan kohesi sosial. Kohesi didefinisikan sebagai ikatan antara molekul dalam satu unsur. Dalam kehidupan bermasyarakat, kohesi sosial diartikan sebagai pertautan dan ikatan bersama masyarakat dalam satu bangsa, dalam hal ini Bangsa Indonesia. Kita mengalami indikasi gangguan kohesi sosial akibat kondisi situasi politik juga sebagai konsekuensi dari beberapa kebijakan. Cukup signifikan kita lihat sejak awal reformasi, bahwa telah terjadi gangguan kohesi sosial yang berkembang di berbagai daerah. Gesekan sosial tersebut juga dapat terjadi akibat format operasional budaya yang tidak sesuai dengan indikasi persaingan dalam akses terhadap sumber-sumber perekonomian.
Terjadi pula indikasi perkelahian massal antarpenduduk kampung karena persoalan kebijakan pemerintah, misalnya terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), pemekaran wilayah, industri, kawasan hutan, tempat pembuangan akhir sampah, pencemaran dan juga akibat kebijakan yang mengandung ekses lanjut seperti timbulnya ?kecemburuan? sosial dalam masyarakat baik antarkelompok atau antarindividu.
Peran Birokrasi Pemda
Pemerintah Daerah mempunyai peran sangat penting untuk sama-sama menjaga spirit kohesi sosial di antara bangsa Indonesia dan tentu saja dalam menjaga hubungan nasional dan daerah sesuai dengan fungsi dan tujuan konstitusi, UUD 1945. Dengan kata lain, misalnya pejabat pemerintah (daerah) harus tidak asal mudah meneriakkan otonomi khusus hanya atas alasan mereka tidak sama dengan wilayah lain yang ada di Indonesia; tetapi harus dengan pertimbangan sangat matang dari segala aspek dan dengan justifikasi yang benar dan arif. Peran kebijakan pemerintah juga menjadi sangat penting dalam memunculkan ataupun menghilangkan konflik, baik aktual maupun potensial. Selain itu perlunya pengembangan dialog, misalnya dialog lintas etnis, atau dibukanya pos-pos pengaduan.
Komunikasi aparat/Muspida atau sekarang disebut Forum Komunikasi Pimpinan Daerah dan tokoh dengan masyarakat sangat penting. Forum-forum komunikasi seperti forum ulama-umarah atau forum komunikasi lingkungan, lembaga kebudayaan dan lain-lain merupakan instrumen penting. Secara keseluruhan, penting pula bagi aparat untuk melihat kembali format pengambilan keputusan dengan basis kemasyarakatan dan dengan prinsip-prinsip: prosedural, fleksibilitas dan akuntabilitas. (Linder, S.H. dan Peters B.G., 1991). Elemen lebih perinci dalam ketiga prinsip tersebut meliputi kepentingan invidual kelompok dan asosiasi (untuk fleksibilitas), serta secara prosedural dengan elemen pengawasan dan sistem hukum (yudisial) serta prinsip akuntabilitas dengan elemen yang meliputi aktualisasi pemerintah baik pemerintah daerah maupun nasional. Sesuai dengan fungsinya dalam pemerintahan, maka menjadi sangat penting bagi pemerintah sebagai inisiator dalam rule making untuk senantiasa melakukan inovasi kebijakan serta menjaga kebijakan yang dihasilkan. Perumusan kebijakan harus didasarkan pada kaidah-kaidah pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang tepat, sehingga tidak akan terjadi bias, baik bias dalam instrumen ataupun bias dalam hal aktor. Kembali di sini jajaran birokrasi mendapatkan tantangan kerja.
Di samping kebjakan, tentu saja agenda-agenda operasional yang sedang dibutuhkan di tengah masyarakat, apalagi dikaitkan dengan "semakin kerasnya" tantangan kehidupan masyarakat yang direfleksikan antara lain dengan daya beli, kesempatan kerja, akses pendidikan, kesehatan dll, begitupun akses generasi muda untuk dapat menyalurkan pola-pola dinamikanya. Terlalu besar risiko yang dihadapi dalam hal birokrat gagal mempersiapkan kebijakan yang tepat bagi para pejabat politis dan para politisi untuk memutuskan dalam kaitan pluralitas. Bangkitlah jajaran birokrat Lampung untuk Sang Bumi Rua Jurai kita tercinta.
Siti Nurbaya, Sekjen Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
Sumber: Lampung Post, Senin, 5 November 2012